Rabu, 06 Januari 2010

ITP

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga jumlahnnya kurang dari 100.000/mm3 dan lebih lanjut dipengaruhi keadaan-keadaan lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti leukemia atau penyakit hati. Gangguan jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan kelainan retraksi bekuan. Jumlah trombosit mungkin berkurang (trombositopeni) atau bertambah (trombositosis). Penyebab utama trombositopeni diklasifikasikan menjadi :
1. Trombositopeni artifaktual; yang dapat dibedakan menjadi Trombosit bergerombol (Platelet clumping) disebabkan oleh anticoagulant-dependent immunoglobulin (Pseudotrombositopenia), Trombosit satelit (Platelet satellitism), dan Giant Trombosit (Giant Platelet).
2. Penurunan produksi trombosit; yang dapat disebabkan oleh: Hipoplasia megakariosit, Trombopoesis yang tidak efektif, Gangguan kontrol trombopoetik, dan Trombositopenia herediter.
3. Peningkatan destruksi trombosit; yang dapat disebabkan oleh: Proses imunologis, Proses Nonimunologis, dan Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling.
Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Purpura Trombositopenia Idiopatik merupakan suatu keadaan trombositopenia (kurangnya jumlah trombosit) yang bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) dan menyebabkan timbulnya manifestasi perdarahan (purpura). Seiring dengan kemajuan perkembangan, ITP ditengarai disebabkan oleh adanya antibodi anti-trombosit. Jadi antibodi ini merusak trombosit, sehingga terjadi pengrusakan trombosit dan menyebabkan jumlahnya menurun.
Drug Induced Trombocytopenia
Pasien akibat DIT akan merasakan sensasi obat selama sekitar 1 minggu atau berselang-seling selama jangka waktu lama sebelum didahului dengan peteki dan ekimosis yang mana merupakan indikasi trombositopenia. Kadang-kadang, gejala timbul dalam 1-2 hari setelah benar-benar jelas adanya pengaruh pertama pada obat. Gejala sistemik seperti mengigau, dingin, demam, sakit kepala dan muntah sering mendahului gejala perdarahan. Pada pasien berat mempunyai purpura dan perdarahan dari hidung, gusi, dan gastrointestinal. Karena pemahaman yang kurang, DIT kadang-kadang digambarkan dengan disseminated intravascular coagulation (DIC) atau kegagalan ginjal dan indikasi lain pada hemolytic-uremic syndrome (HUS) atau thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
B. Patofisiologi
1. Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Idiopatic Trombocytopenia Purpura merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendothelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari IgG. Sindrom Idiopatic Trombocytopenia Purpura disebabkan oleh trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi trombosit spesifik (IgG) yang kemudian akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Faktor yang memicu produksi autoantibodi belum diketahui, namun kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit. Autoantibodi terbentuk karena adanya antigen yang berupa kompleks glikoprotein IIb/IIIa.
Sel penyaji antigen (makrofag) akan merusak glikoprotein IIb/IIIa dan memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein dari trombosit lain. Sel penyaji antigen yang teraktifasi mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan konstimulasi dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1. Dengan kata lain, destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen (makrofag) akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup yang akan terus meyelubungi trombosit, yang pada akhirnya kan menyebabkan trombositopenia. Masa hidup trombosit pada Idiopatic Trombocytopenia Purpura memendek berkisar antara 2-3 hari sampai beberapa menit.
2. Drug Induced Trombocytopenia
Pasien akibat DIT akan merasakan sensasi obat selama sekitar 1 minggu atau berselang-seling selama jangka waktu lama sebelum didahului dengan peteki dan ekimosis yang mana merupakan indikasi trombositopenia. Kadang-kadang, gejala timbul dalam 1-2 hari setelah benar-benar jelas adanya pengaruh pertama pada obat. Gejala sistemik seperti mengigau, dingin, demam, sakit kepala dan muntah sering mendahului gejala perdarahan. Pada pasien berat mempunyai purpura dan perdarahan dari hidung, gusi, dan gastrointestinal. Karena pemahaman yang kurang, DIT kadang-kadang digambarkan dengan disseminated intravascular coagulation (DIC) atau kegagalan ginjal dan indikasi lain pada hemolytic-uremic syndrome (HUS) atau thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
C. Diagnosis
1. Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Kriteria diagnosis dari Idiopatic Trombocytopenia Purpura dapat ditegakkan dengan menggunakan pedoman sebagai berikut:
 AT 10.000-50.000/μL
 Filem darah menunjukkan penurunan jumlah trombosit
 Sumsum tulang memperlihatkan jumlah megakariosit normal atau meningkat sebagai usaha kompensasi terhadap destruksi trombosit
 Kadar trombopoetin tidak meningkat
 Tes sensitif menunjukkan IgG antitrombosit pada permukaan trombosit atau dalam serum
2. Drug Induced Trombocytopenia
Kriteria Diagnosis Drug Induced Trombocytopenia:
 Terapi dengan obat kandidat mendahului terjadinya trombositopenia dan setelah terapi dihentikan, jumlah trombosit menjadi normal dan hal ini menetap.
 Obat kadidat adalah satu-satunya obat yang diberikan sebelum onset trombositopenia, atau jika obat lain terus diberikan setelah penghentian obat kandidat jumlah trombosit tetap normal.
 Penyebab trombositopenia lain sudah disingkirkan.
 Trombositopenia akan kembali terjadi jika obat kandidat diberikan lagi.
Obat-obat penginduksi dari Drug Induced Trombocytopenia:
 Antibiotik: kloramfenikol, eritromisin, penisilin, sulfisoksazol, tetrasiklin, kotrimazol
 Antikonvulsan: fenitoin, fenobarbital, mefetinoin, karbamazepin
 Hipoglikemik oral: tolbutamid
 Obat-obat anti inflamasi: aspirin, kolkisin, senyawa emas, indometasin, fenilbutazon
 Antihipertensi dan diuretik: klorotiazid, metildopa, captopril
 Antineoplastik: mekloretamin hidroklorida, siklofosfamid, sitarabin, metotreksat, merkaptopurin, hidroksiurea
 Transquilizer: klorpromazin
 Golongan Quinine/Quinidine: Quinine, Quinidine
 Heparin: Reguler unfractinated heparin, low molecular weight heparin
 Gold salts
 Antimicrobials: Ciprofloxacin, Chlaritomycin, Fusidic acid, Gentamicin, pennicilin (Ampicillin, Apalcillin, Methicillin, Meziocillin, Penicillin Piperacillin)
 Anti Inflammatory drugs
 Cardiacs medications and deuretik
 Diazepam
 Anti epiletic drugs: Carbamazepime, Phenytoin
 H-2 antagonis: Cimetidine, Ranitidine
 Anti Histamin: Antazoline, Chlorpeniramine



D. Manifestasi Klinis
Pada banyak kejadian-kejadian, thrombocytopenia mungkin tidak mempunyai gejala-gejala, terutama jika ringan, dan ia dapat dideteksi hanya secara kebetulan pada pekerjaan darah rutin yang dilakukan untuk sebab-sebab lain.
Jika thrombocytopenianya parah, contohnya kurang dari 20 per micro liter, ia dapat bermanifestasi sebagai perdarahan yang meningkat ketika orang itu terpotong atau terluka atau pedarahan yang meningkat selama periode menstruasi.
Perdarahan secara spontan dapat juga terjadi dengan thrombocytopenia yang parah (kurang dari 10,000 sampai 20,000 platelet-platelet). Tipe perdarahan ini biasanya terjadi dibawah kulit atau selaput lendir atau mucus membrane (lapisan dalam dari rongga mulut, saluran pencernaan, atau rongga hidung).
Ruam-ruam atau memar-memar lain yang telihat pada thrombocytopenia disebut purpura, yang adalah spot-spot yang kecil dan ungu dibawah kulit sebagai akibat dari hemorrhage. Ini secara khas lebih besar dari 3 milimeter dalam diameternya dan mungkin mewakili pertemuan dari petechiae.
E. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dari thrombocytopenia mungkin adalah perdarahan yang berlebihan setelah terpotong atau luka yang berakibat pada hemorrhage dan kehilangan darah yang banyak. Bagaimanapun, perdarahan yang spontan (tanpa segala luka atau terpotong) yang disebabkan oleh thrombocytopenia adalah tidak umum, kecuali jumlah platelet adalah kurang dari 20,000.
Komplikasi-komplikasi lain mungkin berhubungan pada segala faktor-faktor atau kondisi-kondisi lain yang mendasarinya. Contohnya, autoimmune thrombocytopenia yang berhubungan pada lupus mungkin berhubungan dengan komplikasi-komplikasi lain dari lupus. TTP atau HUS dapat mempunyai banyak komplikasi-komplikasi termasuk anemia yang parah, kebingungan atau perubahan-perubahan neurologic lain, atau gagal ginjal. HIT atau heparin yang menginduksi thrombocytopenia dapat mempunyai komplikasi-komplikasi yang membinasakan yang berhubungan pada pembentukan gumpalan darah (thrombosis).


F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperuntukan untuk menguatkan diagnosis dari trombositopenia antara lain:
1. Hitung darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan hemoglobin, hematokrit, trombosit (trombosit di bawah 20 ribu/mm3).
2. Anemia normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
3. Leukosit biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis.
4. Sumsum tulang biasanya normal, tetapu megakariosit muda dapat bertambah dengan maturation arrest pada stadium megakariosit.
5. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal, prothrombin consumption memendek, test RL (+).
G. Prognosis
1. Pada anak-anak 89% sembuh, 54% sembuh dalam 4-8 minggu, 2% meninggal;
2. Pada orang dewasa 64% sembuh, 30% penyakit kronik, 5% meninggal;
3. Bila pasien tidak mengalami perdarahan dan memiliki jumlah trombosit diatas 20.000/μL, harus dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi karena banyak pasien trombositopenia kronik yang parah dapat hidup selama dua sampai tiga dekade.
H. Penatalaksanaan
Perawatan dari thrombocytopenia sebagian besar tergantung pada penyebab dan keparahan dari kondisi. Beberapa situasi-situasi mungkin memerlukan perawatan-perawatan spesifik atau darurat, sedangkan, yang lain-lain dapat hanya dikendalikan oleh penarikan-penarikan darah dan pengamatan yang sekali-sekali dari tingkat-tingkat platelet.
Pada auto-immune thrombocytopenia atau ITP, steroid-steroid dapat digunakan untuk melemahkan sistim imun dalam rangka menghalangi serangan pada platelet-platelet. Pada kasus-kasus yang lebih parah, intravenous immunoglobulins (IVIG) atau antibodi-antibodi mungkin juga diberikan untuk memperlambat proses imun. Pada kasus-kasus yang sukar disembuhkan, splenectomy (pengangkatan dari limpa) mungkin adalah perlu.
Jika obat diperkirakan adalah penyebab dari jumlah platelet yang rendah, maka ia mungkin dihentikan oleh dokter yang mengawasi. Pada pasien-pasien dengan HIT, adalah sangat penting untuk mengeluarkan dan menghindari penggunaan masa depan dari segala produk-produk heparin, termasuk low molecular weight heparin (Lovenox), segera untuk mencegah respon imun lebih jauh terhadap platelet-platelet.
Pada umumnya, transfusi platelet tidak diperlukan, kecuali seorang individu dengan platelet-platelet yang rendah (kurang dari 50,000) mempunyai perdarahan yang aktif atau hemorrhage, atau memerlukan operasi atau prosedur-prosedur invasif lain. Adakalanya, transfusi mungkin direkomendasikan tanpa segala perdarahan jika jumlah platelet adalah kurang dari 10,000.
Pada kasus-kasus yang dicurigai dari HIT atau TTP, transfusi dari platelet-platelet umumnya tidak direkomendasikan karena platelet-platelet baru dapat secara potensial membuat kondisis lebih buruk dan lebih berkepanjangan.

anemia defisiensi besi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia Defisiensi Besi
Anemia gizi adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal.
Anemia kurang besi adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Sejauh ini kurang zat besi merupakan penyebab anemia gizi yang paling lazim, hal tersebut dapat dikaitkan dengan kurangnya zat lainnya seperti vitamin B12, piridoksin dan tembaga, karena jarang terjadi dan tidak menjadi masalah utama kesehatan masayarakat. Disamping itu infeksi kecacingan juga merupakan penyebab yang dapat memperberat anemia kurang besi
Ada tiga faktor penting yang menyebabkan orang menjadi anemia, yaitu:
1. Kehilangan darah karena perdarahan
2. Pengrusakan sel darah merah
3. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak
Dari ketiga faktor yang tersebut di atas yang merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah anemia yang disebabkan oleh faktor ketiga yaitu disebut sebagai anemia gizi
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari:
 Saluran pencernaan: akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
 Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.
 Saluran kemih (hematuria).
 Saluran napas (hemoptoe).
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi –yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
B. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
Tiga mekanisme penting yang dapat terjadi pada anemia defisiensi besi disamping meningkatnya kebutuhan besi adalah:
1. Absorpsi besi yang tak normal
Absorpsi besi pada saluran cerna diatur oleh jumlah besi tubuh dalam pool, kadar EPO dan kecepatan eritropoiesis. Absorpsi besi terjadi di duodenum dan jejunum proksimal yang dipengaruhi oleh asupan makanan, faktor-faktor intraluminal, aktifitas eritropoiesis, kapasitas fungsional dari sel mukosa usus dan jumlah besi dalam jaringan penyimpanan. Dengan restriksi daging yang banyak mengandung heme, maka jumlah besi yang diabsorpsi akan berkurang. Disisi lain dengan adanya eritropoiesis yang meningkat atau dengan berkuranganya cadangan besi tubuh akan menginduksi peningkatan absorpsi besi. Telah dibuktikan pula dengan tehnik ferrokinetik, ambilan besi oleh sel mukosa usus akan berkurang secara bermakna.
2. Kehilangan darah
Beberapa faktor berperan dalam kehilangan darah seperti sisa darah dalam dialiser dan blood tubing pada setiap akhir dialisis, seringnya melakukan pemeriksaan darah, perdarahan saluran cerna tersembunyi, dan hilangnya darah dari tempat fungsi jarum saat hemodialisis. Kira-kira 1-3 gram besi akan hilang pertahun akibat keadaan ini. Pemberian 25 100 mg besi perminggu untuk mengganti kehilangan darah ini.
3. Defisiensi besi fungsional
Adalah keadaan dimana besi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan untuk eritropoiesis. Hal ini terjadi karena terdapat blokade pada sistem retikulo-endotelial yang disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi. Infeksi dan inflamasi akan menginduksi pelepasan sitokin dalam sirkulasi seperti IL1, Tumor Necrosis Factor-a (TNF-2) dan IL6. Sitokinsitokin ini menyebabkan berkurangnya produksi EPO endogen atau menurunkan kepekaan sel prekursor eritroid terhadap EPO endogen atau eksogen.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb.
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% sebagai acuan.
C. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut:
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan.
2. Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast).
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti:
1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) : Hb A2 meningkat, Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
2. Anemia karena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb): terdapat gejala lain keracunan Pb.
4. Anemia sideroblastik: terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.
D. Pemeriksaan Kasus Anemia Defisiensi Besi
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah:
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang: Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses: Telur cacing Ankilostoma duodenale atau Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain: endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop, dan pemeriksaan ginekologi.
E. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi
Manifestasi klinis anemia antara lain:
1. Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan enzim 2,3 DPG (2,3 diphosphoglycerate);
2. Meningkatkan curah jantung (cardiac output);
3. Redistribusi aliran darah;
4. Menurunkan tekanan oksigen vena.
Manifestasi klinis anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan besar:
1. Gejala Umum anemia atau sindrom anemia
 Sistem kardiovaskuler; Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina pectoris, dan gagal jantung.
 Sistem saraf; Sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
 Sistem urogenital; Gangguan haid dan libido menurun.
 Epitel; Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tupis dan halus.
2. Gejala khas masing-masing anemia.
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia.


F. Metabolisme Besi
Memahami metabolisme besi sangat penting dalam pemantauan status besi dan suplementasi preparat besi. Zat besi merupakan unsur yang penting dalam tubuh dan hampir selalu berikatan dengan protein tertentu seperti hemoglobin, mioglobin. Kompartemen zat besi yang terbesar dalam tubuh adalah hemoglobin yang dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat besi.Hemoglobin mengandung 0,34% berat zat besi; 1 ml eritrosit setara dengan 1 mg zat besi.
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati,limpa,dan sumsum tulang.Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali.Hati merupakan tempat penyimpanan feririn terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum.Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat,ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak.Pada penyakit keganasan sel darah kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia.Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial yang mekanismenya belum jelas,akibatnya kadar feritin intrasel dan serum meningkat .Feritin disintesis dalam sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma.Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).
Zat besi dalam plasma sebagian berikatan dengan transferin,yang berfungsi sebagai transpor zat besi.Transferin merupakan suatu glikoprotein; setiap molekul transferin mengandung 2 atom Fe. Zat besi yang berikatan dengan transferin akan terukur sebagai kadar besi serum yang dalam keadaan normal hanya 20-45% transferin yang jenuh dengan zat besi, sedangkan kapasitas daya ikat transferin seluruhnya disebut total iron binding capacity (TIBC) = daya ikat besi total .
G. Sintesis Hemoglobin
Akumulasi besi oleh sel eritroblas dimulai pada awal perkembangannya.Besi diambil kedalam feritin eritroblas,disimpan dan akan dilepas untuk sintesis Hb selama perkembamgan eritroid berikutnya. Bila sel darah merah menjadi retikulosit,ambilan besi dan sitesis Hb akan berhenti.Ambilan besi oleh eritroblas ditentukan oleh kadar reseptor transferin pada permukaan sel.Reseptor transferin kembali ke sirkulasi dengan berkembangnya sel darah merah,dimana kadarnya dapat diukur.Pengukuran kadar reseptor transferin pertama dikembangkan sebagai marker pengganti untuk hitung retikulosit.Pengukuran kadar reseptor transferin dapat membedakan anemi defisiensi besi dan anemi penyakit kronik.Pada anemia defisiensi besi,terjadi peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif yang menyebabkan reseptor transferin dilepaskan ke dalam plasma.Pada pasien anemia penyakit kronik,eritropoiesis yang tidak efektif akan berkurang.
Defisiensi besi fungsional mengakibatkan produksi sel darah merah menjadi hipokrom.Sel yang hipokrom tidak hanya sebagai akibat defisiensi besi fungsional tapi dapat disebabkan oleh berkurangnya sintesis Hb apapun penyebabnya.
H. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat Fe: Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/ feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
3. Bedah: Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
4. Suportif: Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa:
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi per oral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia, yaitu:
 Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
 Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
b) Besi parenteral; dengan indikasi sebagai berikut:
 Intoleransi terhadap pemberian besi oral;
 Kepatuhan terhadap obat yang rendah;
 Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi;
 Penyerapan besi terganggu (gastrektomi);
 Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral (hereditary hemorrhagic teleangiectasia);
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek (kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi);
 Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Terapi besi parental sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal.

Minggu, 03 Januari 2010

CHF

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


GAGAL JANTUNG
A. DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau anuria (Purwaningtyas, 2007).
Sampai sekarang klasifikasi gagal jantung yang dikenal adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA),yaitu :
a. NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejal-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak nafas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
b. NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
c. NYHA kelas III, penderita penyakit dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
d. NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan (Purwaningtyas, 2007).
B. ETIOLOGI
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi ( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif (Chandrasoma, 2006 )
PATOFISIOLOGI
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat dilihat : (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi kurang efektif (Price dan Wilson, 2006).
Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1) norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas myocite, (2) angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4) endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite (Nugroho, 2009).
Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat pengisian diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup bertambah besar. Oleh karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran balik vena sebagai kompensasi sehingga dapat meningkatkan curah jantung.
C. EPIDOMIOLOGI
Gagal jantung adalah sindrom yang umum muncul dengan tingkat kejadian dan sebaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hampir 5 juta orang di AS mengalami gagal jantung, dan hampir 500.000 kasus baru yang muncul tiap tahun. Ini penyakit yang bekaitan dengan usia, 75% kasus mengenai orang dengan usia lebih dari 65 tahun. Tingkat kejadian gagal jantung meningkat 1% pada usia dibawah 60 tahun dan hampir 10% pada usia diatas 80 tahun.( Nugroho, HS. 2009 )
D. KOMPENSASI TUBUH TERHADAP GAGAL JANTUNG
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung, diantaranya adalah :
1. Mekanisme respon darurat yang pertama berlaku untuk jangka pendek (beberapa menit sampai beberapa jam), yaitu reaksi fight-or-flight. Reaksi ini terjadi sebagai akibat dari pelepasan adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin (norepinefrin) dari kelenjar adrenal ke dalam aliran darah; noradrenalin juga dilepaskan dari saraf. Adrenalin dan noradrenalin adalah sistem pertahanan tubuh yang pertama muncul setiap kali terjadi stres mendadak. Pada gagal jantung, adrenalin dan noradrenalin menyebabkan jantung bekerja lebih keras, untuk membantu meningkatkan curah jantung dan mengatasi gangguan pompa jantung sampai derajat tertentu. Curah jantung bisa kembali normal, tetapi biasanya disertai dengan meningkatnya denyut jantung dan bertambah kuatnya denyut jantung. Pada seseorang yang tidak mempunyai kelainan jantung dan memerlukan peningkatan fungsi jantung jangka pendek, respon seperti ini sangat menguntungkan. Tetapi pada penderita gagal jantung kronis, respon ini bisa menyebabkan peningkatan kebutuhan jangka panjang terhadap sistem kardiovaskuler yang sebelumnya sudah mengalami kerusakan. Lama-lama peningkatan kebutuhan ini bisa menyebabkan menurunya fungsi jantung.
2. Mekanisme perbaikan lainnya adalah penahanan garam (natrium) oleh ginjal. Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara bersamaan menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya volume darah dalam sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung. Salah satu akibat dari penimbunan cairan ini adalah peregangan otot jantung karena bertambahnya volume darah. Otot yang teregang berkontraksi lebih kuat. Hal ini merupakan mekanisme jantung yang utama untuk meningkatkan kinerjanya dalam gagal jantung. Tetapi sejalan dengan memburuknya gagal jantung, kelebihan cairan akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di berbagai bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema). Lokasi penimbunan cairan ini tergantung kepada banyaknya cairan di dalam tubuh dan pengaruh gaya gravitasi. Jika penderita berdiri, cairan akan terkumpul di tungkai dan kaki jika penderita berbaring, cairan akan terkumpul di punggung atau perut. Sering terjadi penambahan berat badan sebagai akibat dari penimbunan air dan garam.
3. Mekanime utama lainnya adalah pembesaran otot jantung (hipertrofi).
Otot jantung yang membesar akan memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi pada akhirnya bisa terjadi kelainan fungsi dan menyebabkan semakin memburuknya gagal jantung. (www.medicastore.com)
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort);namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.
b. Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak.
c. Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics favor an upright posture.
d. Pernapasan Cheyne-Stokes . Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
e. Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
f. Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner.
g. Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat berperan dalam insomnia. (Husnul Mubarak )
F. PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei HF, begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis.
Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya < 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan.
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.
Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk. (Husnul Mubarak, 2008 )
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.( Rakhman, Otte. 2003 )
H. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gagal jantung dibagi 2 menjadi kriteria utama dan kriteria tambahan.
A. Kriteria utama : dispnea paroxismal nokturnal (PND), kardiomegali, gallop S-3, peningkatan tekanan vena, reflex hepatojugular, ronkhi.
B. Kriteria tambahan : edem pergelangan kaki, batuk malam hari, dispnea waktu aktivitas, hepatomegali, efusi pleura, takikardi.
Diagnosis ditetapkan atas adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria utama ditambah 2 kriteria tambahan (Fathoni, 2007).
I. DEFERENSIAL DIAGNOSIS
HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana kongesti sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi tidak terdapat kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal) dan (2) penyebab nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis. syndrome distress pernapasan akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala khas untuk HF, diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan ahli berpengalaman memiliki kesulitan untuk membedakan antara sesak napas akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini, pencitraan jantung noninvasif, biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan radiology dapat berguna. Kadar BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah membantu menyingkirkan penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat timbul akibat varises vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF terjadi pada pasien dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak napas akibat kontribusi HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas )
J. PENATALAKSANAAN
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul,2003 )