Rabu, 06 Januari 2010

ITP

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari 100.000/mm3. Jumlah trombosit rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga jumlahnnya kurang dari 100.000/mm3 dan lebih lanjut dipengaruhi keadaan-keadaan lain yang mendasari atau yang menyertai, seperti leukemia atau penyakit hati. Gangguan jumlah atau fungsi trombosit menyebabkan kelainan retraksi bekuan. Jumlah trombosit mungkin berkurang (trombositopeni) atau bertambah (trombositosis). Penyebab utama trombositopeni diklasifikasikan menjadi :
1. Trombositopeni artifaktual; yang dapat dibedakan menjadi Trombosit bergerombol (Platelet clumping) disebabkan oleh anticoagulant-dependent immunoglobulin (Pseudotrombositopenia), Trombosit satelit (Platelet satellitism), dan Giant Trombosit (Giant Platelet).
2. Penurunan produksi trombosit; yang dapat disebabkan oleh: Hipoplasia megakariosit, Trombopoesis yang tidak efektif, Gangguan kontrol trombopoetik, dan Trombositopenia herediter.
3. Peningkatan destruksi trombosit; yang dapat disebabkan oleh: Proses imunologis, Proses Nonimunologis, dan Abnormalitas distribusi trombosit atau pooling.
Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Purpura Trombositopenia Idiopatik merupakan suatu keadaan trombositopenia (kurangnya jumlah trombosit) yang bersifat idiopatik (tidak diketahui penyebabnya) dan menyebabkan timbulnya manifestasi perdarahan (purpura). Seiring dengan kemajuan perkembangan, ITP ditengarai disebabkan oleh adanya antibodi anti-trombosit. Jadi antibodi ini merusak trombosit, sehingga terjadi pengrusakan trombosit dan menyebabkan jumlahnya menurun.
Drug Induced Trombocytopenia
Pasien akibat DIT akan merasakan sensasi obat selama sekitar 1 minggu atau berselang-seling selama jangka waktu lama sebelum didahului dengan peteki dan ekimosis yang mana merupakan indikasi trombositopenia. Kadang-kadang, gejala timbul dalam 1-2 hari setelah benar-benar jelas adanya pengaruh pertama pada obat. Gejala sistemik seperti mengigau, dingin, demam, sakit kepala dan muntah sering mendahului gejala perdarahan. Pada pasien berat mempunyai purpura dan perdarahan dari hidung, gusi, dan gastrointestinal. Karena pemahaman yang kurang, DIT kadang-kadang digambarkan dengan disseminated intravascular coagulation (DIC) atau kegagalan ginjal dan indikasi lain pada hemolytic-uremic syndrome (HUS) atau thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
B. Patofisiologi
1. Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Idiopatic Trombocytopenia Purpura merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendothelial akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari IgG. Sindrom Idiopatic Trombocytopenia Purpura disebabkan oleh trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi trombosit spesifik (IgG) yang kemudian akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Faktor yang memicu produksi autoantibodi belum diketahui, namun kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit. Autoantibodi terbentuk karena adanya antigen yang berupa kompleks glikoprotein IIb/IIIa.
Sel penyaji antigen (makrofag) akan merusak glikoprotein IIb/IIIa dan memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein dari trombosit lain. Sel penyaji antigen yang teraktifasi mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan bantuan konstimulasi dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1. Dengan kata lain, destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen (makrofag) akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup yang akan terus meyelubungi trombosit, yang pada akhirnya kan menyebabkan trombositopenia. Masa hidup trombosit pada Idiopatic Trombocytopenia Purpura memendek berkisar antara 2-3 hari sampai beberapa menit.
2. Drug Induced Trombocytopenia
Pasien akibat DIT akan merasakan sensasi obat selama sekitar 1 minggu atau berselang-seling selama jangka waktu lama sebelum didahului dengan peteki dan ekimosis yang mana merupakan indikasi trombositopenia. Kadang-kadang, gejala timbul dalam 1-2 hari setelah benar-benar jelas adanya pengaruh pertama pada obat. Gejala sistemik seperti mengigau, dingin, demam, sakit kepala dan muntah sering mendahului gejala perdarahan. Pada pasien berat mempunyai purpura dan perdarahan dari hidung, gusi, dan gastrointestinal. Karena pemahaman yang kurang, DIT kadang-kadang digambarkan dengan disseminated intravascular coagulation (DIC) atau kegagalan ginjal dan indikasi lain pada hemolytic-uremic syndrome (HUS) atau thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP).
C. Diagnosis
1. Idiopatic Trombocytopenia Purpura
Kriteria diagnosis dari Idiopatic Trombocytopenia Purpura dapat ditegakkan dengan menggunakan pedoman sebagai berikut:
 AT 10.000-50.000/μL
 Filem darah menunjukkan penurunan jumlah trombosit
 Sumsum tulang memperlihatkan jumlah megakariosit normal atau meningkat sebagai usaha kompensasi terhadap destruksi trombosit
 Kadar trombopoetin tidak meningkat
 Tes sensitif menunjukkan IgG antitrombosit pada permukaan trombosit atau dalam serum
2. Drug Induced Trombocytopenia
Kriteria Diagnosis Drug Induced Trombocytopenia:
 Terapi dengan obat kandidat mendahului terjadinya trombositopenia dan setelah terapi dihentikan, jumlah trombosit menjadi normal dan hal ini menetap.
 Obat kadidat adalah satu-satunya obat yang diberikan sebelum onset trombositopenia, atau jika obat lain terus diberikan setelah penghentian obat kandidat jumlah trombosit tetap normal.
 Penyebab trombositopenia lain sudah disingkirkan.
 Trombositopenia akan kembali terjadi jika obat kandidat diberikan lagi.
Obat-obat penginduksi dari Drug Induced Trombocytopenia:
 Antibiotik: kloramfenikol, eritromisin, penisilin, sulfisoksazol, tetrasiklin, kotrimazol
 Antikonvulsan: fenitoin, fenobarbital, mefetinoin, karbamazepin
 Hipoglikemik oral: tolbutamid
 Obat-obat anti inflamasi: aspirin, kolkisin, senyawa emas, indometasin, fenilbutazon
 Antihipertensi dan diuretik: klorotiazid, metildopa, captopril
 Antineoplastik: mekloretamin hidroklorida, siklofosfamid, sitarabin, metotreksat, merkaptopurin, hidroksiurea
 Transquilizer: klorpromazin
 Golongan Quinine/Quinidine: Quinine, Quinidine
 Heparin: Reguler unfractinated heparin, low molecular weight heparin
 Gold salts
 Antimicrobials: Ciprofloxacin, Chlaritomycin, Fusidic acid, Gentamicin, pennicilin (Ampicillin, Apalcillin, Methicillin, Meziocillin, Penicillin Piperacillin)
 Anti Inflammatory drugs
 Cardiacs medications and deuretik
 Diazepam
 Anti epiletic drugs: Carbamazepime, Phenytoin
 H-2 antagonis: Cimetidine, Ranitidine
 Anti Histamin: Antazoline, Chlorpeniramine



D. Manifestasi Klinis
Pada banyak kejadian-kejadian, thrombocytopenia mungkin tidak mempunyai gejala-gejala, terutama jika ringan, dan ia dapat dideteksi hanya secara kebetulan pada pekerjaan darah rutin yang dilakukan untuk sebab-sebab lain.
Jika thrombocytopenianya parah, contohnya kurang dari 20 per micro liter, ia dapat bermanifestasi sebagai perdarahan yang meningkat ketika orang itu terpotong atau terluka atau pedarahan yang meningkat selama periode menstruasi.
Perdarahan secara spontan dapat juga terjadi dengan thrombocytopenia yang parah (kurang dari 10,000 sampai 20,000 platelet-platelet). Tipe perdarahan ini biasanya terjadi dibawah kulit atau selaput lendir atau mucus membrane (lapisan dalam dari rongga mulut, saluran pencernaan, atau rongga hidung).
Ruam-ruam atau memar-memar lain yang telihat pada thrombocytopenia disebut purpura, yang adalah spot-spot yang kecil dan ungu dibawah kulit sebagai akibat dari hemorrhage. Ini secara khas lebih besar dari 3 milimeter dalam diameternya dan mungkin mewakili pertemuan dari petechiae.
E. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi dari thrombocytopenia mungkin adalah perdarahan yang berlebihan setelah terpotong atau luka yang berakibat pada hemorrhage dan kehilangan darah yang banyak. Bagaimanapun, perdarahan yang spontan (tanpa segala luka atau terpotong) yang disebabkan oleh thrombocytopenia adalah tidak umum, kecuali jumlah platelet adalah kurang dari 20,000.
Komplikasi-komplikasi lain mungkin berhubungan pada segala faktor-faktor atau kondisi-kondisi lain yang mendasarinya. Contohnya, autoimmune thrombocytopenia yang berhubungan pada lupus mungkin berhubungan dengan komplikasi-komplikasi lain dari lupus. TTP atau HUS dapat mempunyai banyak komplikasi-komplikasi termasuk anemia yang parah, kebingungan atau perubahan-perubahan neurologic lain, atau gagal ginjal. HIT atau heparin yang menginduksi thrombocytopenia dapat mempunyai komplikasi-komplikasi yang membinasakan yang berhubungan pada pembentukan gumpalan darah (thrombosis).


F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperuntukan untuk menguatkan diagnosis dari trombositopenia antara lain:
1. Hitung darah lengkap dan jumlah trombosit menunjukkan penurunan hemoglobin, hematokrit, trombosit (trombosit di bawah 20 ribu/mm3).
2. Anemia normositik: bila lama berjenis mikrositik hipokrom.
3. Leukosit biasanya normal: bila terjadi perdarahan hebat dapat terjadi leukositosis.
4. Sumsum tulang biasanya normal, tetapu megakariosit muda dapat bertambah dengan maturation arrest pada stadium megakariosit.
5. Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, retraksi pembekuan abnormal, prothrombin consumption memendek, test RL (+).
G. Prognosis
1. Pada anak-anak 89% sembuh, 54% sembuh dalam 4-8 minggu, 2% meninggal;
2. Pada orang dewasa 64% sembuh, 30% penyakit kronik, 5% meninggal;
3. Bila pasien tidak mengalami perdarahan dan memiliki jumlah trombosit diatas 20.000/μL, harus dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi karena banyak pasien trombositopenia kronik yang parah dapat hidup selama dua sampai tiga dekade.
H. Penatalaksanaan
Perawatan dari thrombocytopenia sebagian besar tergantung pada penyebab dan keparahan dari kondisi. Beberapa situasi-situasi mungkin memerlukan perawatan-perawatan spesifik atau darurat, sedangkan, yang lain-lain dapat hanya dikendalikan oleh penarikan-penarikan darah dan pengamatan yang sekali-sekali dari tingkat-tingkat platelet.
Pada auto-immune thrombocytopenia atau ITP, steroid-steroid dapat digunakan untuk melemahkan sistim imun dalam rangka menghalangi serangan pada platelet-platelet. Pada kasus-kasus yang lebih parah, intravenous immunoglobulins (IVIG) atau antibodi-antibodi mungkin juga diberikan untuk memperlambat proses imun. Pada kasus-kasus yang sukar disembuhkan, splenectomy (pengangkatan dari limpa) mungkin adalah perlu.
Jika obat diperkirakan adalah penyebab dari jumlah platelet yang rendah, maka ia mungkin dihentikan oleh dokter yang mengawasi. Pada pasien-pasien dengan HIT, adalah sangat penting untuk mengeluarkan dan menghindari penggunaan masa depan dari segala produk-produk heparin, termasuk low molecular weight heparin (Lovenox), segera untuk mencegah respon imun lebih jauh terhadap platelet-platelet.
Pada umumnya, transfusi platelet tidak diperlukan, kecuali seorang individu dengan platelet-platelet yang rendah (kurang dari 50,000) mempunyai perdarahan yang aktif atau hemorrhage, atau memerlukan operasi atau prosedur-prosedur invasif lain. Adakalanya, transfusi mungkin direkomendasikan tanpa segala perdarahan jika jumlah platelet adalah kurang dari 10,000.
Pada kasus-kasus yang dicurigai dari HIT atau TTP, transfusi dari platelet-platelet umumnya tidak direkomendasikan karena platelet-platelet baru dapat secara potensial membuat kondisis lebih buruk dan lebih berkepanjangan.

anemia defisiensi besi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anemia Defisiensi Besi
Anemia gizi adalah suatu keadaan dengan kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah daripada normal sebagai akibat ketidakmampuan jaringan pembentukan sel darah merah dalam produksinya guna mempertahankan kadar hemoglobin pada tingkat normal.
Anemia kurang besi adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius, berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan kerja. Sejauh ini kurang zat besi merupakan penyebab anemia gizi yang paling lazim, hal tersebut dapat dikaitkan dengan kurangnya zat lainnya seperti vitamin B12, piridoksin dan tembaga, karena jarang terjadi dan tidak menjadi masalah utama kesehatan masayarakat. Disamping itu infeksi kecacingan juga merupakan penyebab yang dapat memperberat anemia kurang besi
Ada tiga faktor penting yang menyebabkan orang menjadi anemia, yaitu:
1. Kehilangan darah karena perdarahan
2. Pengrusakan sel darah merah
3. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak
Dari ketiga faktor yang tersebut di atas yang merupakan masalah kesehatan masyarakat adalah anemia yang disebabkan oleh faktor ketiga yaitu disebut sebagai anemia gizi
Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari:
 Saluran pencernaan: akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
 Saluran genitalia wanita : menorrhagia, atau metrorhagia.
 Saluran kemih (hematuria).
 Saluran napas (hemoptoe).
2. Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavaibilitas) besi –yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging).
3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing tambang. Sementara itu, pada wanita paling sering karena menormetrorhagia.
B. Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi
Tiga mekanisme penting yang dapat terjadi pada anemia defisiensi besi disamping meningkatnya kebutuhan besi adalah:
1. Absorpsi besi yang tak normal
Absorpsi besi pada saluran cerna diatur oleh jumlah besi tubuh dalam pool, kadar EPO dan kecepatan eritropoiesis. Absorpsi besi terjadi di duodenum dan jejunum proksimal yang dipengaruhi oleh asupan makanan, faktor-faktor intraluminal, aktifitas eritropoiesis, kapasitas fungsional dari sel mukosa usus dan jumlah besi dalam jaringan penyimpanan. Dengan restriksi daging yang banyak mengandung heme, maka jumlah besi yang diabsorpsi akan berkurang. Disisi lain dengan adanya eritropoiesis yang meningkat atau dengan berkuranganya cadangan besi tubuh akan menginduksi peningkatan absorpsi besi. Telah dibuktikan pula dengan tehnik ferrokinetik, ambilan besi oleh sel mukosa usus akan berkurang secara bermakna.
2. Kehilangan darah
Beberapa faktor berperan dalam kehilangan darah seperti sisa darah dalam dialiser dan blood tubing pada setiap akhir dialisis, seringnya melakukan pemeriksaan darah, perdarahan saluran cerna tersembunyi, dan hilangnya darah dari tempat fungsi jarum saat hemodialisis. Kira-kira 1-3 gram besi akan hilang pertahun akibat keadaan ini. Pemberian 25 100 mg besi perminggu untuk mengganti kehilangan darah ini.
3. Defisiensi besi fungsional
Adalah keadaan dimana besi yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan untuk eritropoiesis. Hal ini terjadi karena terdapat blokade pada sistem retikulo-endotelial yang disebabkan oleh adanya infeksi atau inflamasi. Infeksi dan inflamasi akan menginduksi pelepasan sitokin dalam sirkulasi seperti IL1, Tumor Necrosis Factor-a (TNF-2) dan IL6. Sitokinsitokin ini menyebabkan berkurangnya produksi EPO endogen atau menurunkan kepekaan sel prekursor eritroid terhadap EPO endogen atau eksogen.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum. Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar Rb.
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan kadar feritin.
Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht), volume sel darah merah (MCV), konsentrasi Hb dalam sel darah merah (MCH) dengan batasan terendah 95% sebagai acuan.
C. Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Penegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diteliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Secara laboratorik untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut:
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan.
2. Laboratorium : Anemia hipokrom mikrosister, Fe serum rendah, TIBC tinggi.
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast).
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti:
1. Thalasemia (khususnya thallasemia minor) : Hb A2 meningkat, Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
2. Anemia karena infeksi menahun : Biasanya anemia normokromik normositik. Kadang-kadang terjadi anemia hipokromik mikrositik. Feritin serum dan timbunan Fe tidak turun.
3. Keracunan timah hitam (Pb): terdapat gejala lain keracunan Pb.
4. Anemia sideroblastik: terdapat ring sideroblastik pada pemeriksaan sumsum tulang.
D. Pemeriksaan Kasus Anemia Defisiensi Besi
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah:
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit : didapatkan anemia hipokrom mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV, MCHC dan MCH menurun. MCH < 70 fl hanya didapatkan pada anemia difisiensi besi dan thalassemia mayor. RDW (red cell distribution width) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.Indeks eritrosit sudah dapa mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun. Kadar hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala anemia yang mencolok karena anemia timbul perlahan-perlahan. Apusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel pensil, kadang-kadang sel target. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Leukosit dan trombosit normal. Retikulosit rendah dibandingkan derajat anemia. Pada kasus ankilostomiasis sering dijumpai eosinofilia.
2. Apus sumsum tulang: Hiperplasia eritropoesis, dengan kelompok-kelompok normo-blast basofil. Bentuk pronormoblast-normoblast kecil-kecil, sideroblast.
3. Kadar besi serum menurun <50 mg/dl, total iron binding capacity (TIBC) meningkat >350 mg/dl, dan saturasi transferin < 15%.
4. Feritin serum. Sebagian kecil feritin tubuh bersirkulasi dalam serum, konsentrasinya sebanding dengan cadangan besi jaringan, khususnya retikuloendotel. Pada anemia defisensi besi, kadar feritin serum sangat rendah, sedangkan feritin serum yang meningkat menunjukkan adanya kelebihan besi atau pelepasan feritin berlebihan dari jaringan yang rusak atau suatu respons fase akut, misalnya pada inflamasi. Kadar feritin serum normal atau meningkat pada anemia penyakit kronik.
5. TIBC (Total Iron Banding Capacity) meningkat.
6. Feses: Telur cacing Ankilostoma duodenale atau Necator americanus.
7. Pemeriksaan lain: endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop, dan pemeriksaan ginekologi.
E. Manifestasi Klinis Anemia Defisiensi Besi
Manifestasi klinis anemia antara lain:
1. Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkatkan enzim 2,3 DPG (2,3 diphosphoglycerate);
2. Meningkatkan curah jantung (cardiac output);
3. Redistribusi aliran darah;
4. Menurunkan tekanan oksigen vena.
Manifestasi klinis anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan besar:
1. Gejala Umum anemia atau sindrom anemia
 Sistem kardiovaskuler; Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina pectoris, dan gagal jantung.
 Sistem saraf; Sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu, perasaan dingin pada ekstremitas.
 Sistem urogenital; Gangguan haid dan libido menurun.
 Epitel; Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tupis dan halus.
2. Gejala khas masing-masing anemia.
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia.


F. Metabolisme Besi
Memahami metabolisme besi sangat penting dalam pemantauan status besi dan suplementasi preparat besi. Zat besi merupakan unsur yang penting dalam tubuh dan hampir selalu berikatan dengan protein tertentu seperti hemoglobin, mioglobin. Kompartemen zat besi yang terbesar dalam tubuh adalah hemoglobin yang dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat besi.Hemoglobin mengandung 0,34% berat zat besi; 1 ml eritrosit setara dengan 1 mg zat besi.
Feritin merupakan tempat penyimpanan zat besi terbesar dalam tubuh. Fungsi feritin adalah sebagai penyimpanan zat besi terutama di dalam hati,limpa,dan sumsum tulang.Zat besi yang berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali.Hati merupakan tempat penyimpanan feririn terbesar di dalam tubuh dan berperan dalam mobilisasi feritin serum.Pada penyakit hati akut maupun kronik kadar feritin serum meningkat,ini disebabkan pengambilan feritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan feritin dari sel hati yang rusak.Pada penyakit keganasan sel darah kadar feritin serum meningkat disebabkan meningkatnya sintesis feritin oleh sel leukemia.Pada keadaan infeksi dan inflamasi terjadi gangguan pelepasan zat besi dari sel retikuloendotelial yang mekanismenya belum jelas,akibatnya kadar feritin intrasel dan serum meningkat .Feritin disintesis dalam sel retikuloendotelial dan disekresikan ke dalam plasma.Sintesis feritin dipengaruhi oleh konsentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan cadangan zat besi intrasel (hemosiderin).
Zat besi dalam plasma sebagian berikatan dengan transferin,yang berfungsi sebagai transpor zat besi.Transferin merupakan suatu glikoprotein; setiap molekul transferin mengandung 2 atom Fe. Zat besi yang berikatan dengan transferin akan terukur sebagai kadar besi serum yang dalam keadaan normal hanya 20-45% transferin yang jenuh dengan zat besi, sedangkan kapasitas daya ikat transferin seluruhnya disebut total iron binding capacity (TIBC) = daya ikat besi total .
G. Sintesis Hemoglobin
Akumulasi besi oleh sel eritroblas dimulai pada awal perkembangannya.Besi diambil kedalam feritin eritroblas,disimpan dan akan dilepas untuk sintesis Hb selama perkembamgan eritroid berikutnya. Bila sel darah merah menjadi retikulosit,ambilan besi dan sitesis Hb akan berhenti.Ambilan besi oleh eritroblas ditentukan oleh kadar reseptor transferin pada permukaan sel.Reseptor transferin kembali ke sirkulasi dengan berkembangnya sel darah merah,dimana kadarnya dapat diukur.Pengukuran kadar reseptor transferin pertama dikembangkan sebagai marker pengganti untuk hitung retikulosit.Pengukuran kadar reseptor transferin dapat membedakan anemi defisiensi besi dan anemi penyakit kronik.Pada anemia defisiensi besi,terjadi peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif yang menyebabkan reseptor transferin dilepaskan ke dalam plasma.Pada pasien anemia penyakit kronik,eritropoiesis yang tidak efektif akan berkurang.
Defisiensi besi fungsional mengakibatkan produksi sel darah merah menjadi hipokrom.Sel yang hipokrom tidak hanya sebagai akibat defisiensi besi fungsional tapi dapat disebabkan oleh berkurangnya sintesis Hb apapun penyebabnya.
H. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
1. Mengatasi penyebab perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang sesuai.
2. Pemberian preparat Fe: Pemberian preparat besi (ferosulfat/ferofumarat/ feroglukonat) dosis 4-6 mg besi elemental/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal.
3. Bedah: Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
4. Suportif: Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan).
Setelah diagnosis ditegakan maka dibuat rencana pemberian terapi, terapi terhadap anemia difesiensi besi dapat berupa:
1. Terapi kausal: tergantung penyebabnya,misalnya : pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengubatan menoragia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh:
a) Besi per oral: merupakan obat pilihan pertama karena efektif, murah, dan aman. Preparat yang tersedia, yaitu:
 Ferrous sulphat (sulfas ferosus): preparat pilihan pertama (murah dan efektif). Dosis: 3 x 200 mg.
 Ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan ferrous succinate,harga lebih mahal, tetepi efektivitas dan efek samping hampir sama.
b) Besi parenteral; dengan indikasi sebagai berikut:
 Intoleransi terhadap pemberian besi oral;
 Kepatuhan terhadap obat yang rendah;
 Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi;
 Penyerapan besi terganggu (gastrektomi);
 Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral (hereditary hemorrhagic teleangiectasia);
 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek (kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi);
 Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik.
Terapi besi parental sangat efektif tetapi mempunyai resiko lebih besar dan harganya lebih mahal.

Minggu, 03 Januari 2010

CHF

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


GAGAL JANTUNG
A. DEFINISI
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau anuria (Purwaningtyas, 2007).
Sampai sekarang klasifikasi gagal jantung yang dikenal adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA),yaitu :
a. NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik serta tidak menunjukkan gejal-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah, sesak nafas atau berdebar-debar, apabila melakukan kegiatan biasa.
b. NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa dapat menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
c. NYHA kelas III, penderita penyakit dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
d. NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik meskipun sangat ringan (Purwaningtyas, 2007).
B. ETIOLOGI
Penyebab gagal jantung digolongkan menurut apakah gagal jantung tersebut menimbulkan gagal yang dominan sisi kiri atau dominan sisi kanan. Dominan sisi kiri : penyakit jantung iskemik, penyakit jantung hipertensif, penyakit katup aorta, penyakit katup mitral, miokarditis, kardiomiopati, amiloidosis jantung, keadaan curah tinggi ( tirotoksikosis, anemia, fistula arteriovenosa). Dominan sisi kanan : gagal jantung kiri, penyakit paru kronis, stenosis katup pulmonal, penyakit katup trikuspid, penyakit jantung kongenital (VSD, PDA), hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif (Chandrasoma, 2006 )
PATOFISIOLOGI
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat dilihat : (1) meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis, (2) meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, (3) hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantung. Namun, dengan berlanjutnya gagal jantung kompensasi menjadi kurang efektif (Price dan Wilson, 2006).
Sekresi neurohormonal sebagai respon terhadap gagal jantung antara lain : (1) norepinephrine menyebabkan vasokontriksi, meningkatkan denyut jantung, dan toksisitas myocite, (2) angiotensin II menyebabkan vasokontriksi, stimulasi aldosteron, dan mengaktifkan saraf simpatis, (3) aldosteron menyebabkan retensi air dan sodium, (4) endothelin menyebabkan vasokontriksi dan toksisitas myocite, (5) vasopresin menyebabkan vasokontrikso dan resorbsi air, (6) TNF α merupakan toksisitas langsung myosite, (7) ANP menyebabkan vasodilatasi, ekresi sodium, dan efek antiproliferatif pada myocite, (8) IL 1 dan IL 6 toksisitas myocite (Nugroho, 2009).
Berdasar hukum Fank-Starling, semakin teregang serabut otot jantung pada saat pengisian diastolik, maka semakin kuat kontraksinya dan akibatnya isi sekuncup bertambah besar. Oleh karena itu pada gagal jantung, terjadi penambahan volum aliran balik vena sebagai kompensasi sehingga dapat meningkatkan curah jantung.
C. EPIDOMIOLOGI
Gagal jantung adalah sindrom yang umum muncul dengan tingkat kejadian dan sebaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hampir 5 juta orang di AS mengalami gagal jantung, dan hampir 500.000 kasus baru yang muncul tiap tahun. Ini penyakit yang bekaitan dengan usia, 75% kasus mengenai orang dengan usia lebih dari 65 tahun. Tingkat kejadian gagal jantung meningkat 1% pada usia dibawah 60 tahun dan hampir 10% pada usia diatas 80 tahun.( Nugroho, HS. 2009 )
D. KOMPENSASI TUBUH TERHADAP GAGAL JANTUNG
Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung, diantaranya adalah :
1. Mekanisme respon darurat yang pertama berlaku untuk jangka pendek (beberapa menit sampai beberapa jam), yaitu reaksi fight-or-flight. Reaksi ini terjadi sebagai akibat dari pelepasan adrenalin (epinefrin) dan noradrenalin (norepinefrin) dari kelenjar adrenal ke dalam aliran darah; noradrenalin juga dilepaskan dari saraf. Adrenalin dan noradrenalin adalah sistem pertahanan tubuh yang pertama muncul setiap kali terjadi stres mendadak. Pada gagal jantung, adrenalin dan noradrenalin menyebabkan jantung bekerja lebih keras, untuk membantu meningkatkan curah jantung dan mengatasi gangguan pompa jantung sampai derajat tertentu. Curah jantung bisa kembali normal, tetapi biasanya disertai dengan meningkatnya denyut jantung dan bertambah kuatnya denyut jantung. Pada seseorang yang tidak mempunyai kelainan jantung dan memerlukan peningkatan fungsi jantung jangka pendek, respon seperti ini sangat menguntungkan. Tetapi pada penderita gagal jantung kronis, respon ini bisa menyebabkan peningkatan kebutuhan jangka panjang terhadap sistem kardiovaskuler yang sebelumnya sudah mengalami kerusakan. Lama-lama peningkatan kebutuhan ini bisa menyebabkan menurunya fungsi jantung.
2. Mekanisme perbaikan lainnya adalah penahanan garam (natrium) oleh ginjal. Untuk mempertahankan konsentrasi natrium yang tetap, tubuh secara bersamaan menahan air. Penambahan air ini menyebabkan bertambahnya volume darah dalam sirkulasi dan pada awalnya memperbaiki kerja jantung. Salah satu akibat dari penimbunan cairan ini adalah peregangan otot jantung karena bertambahnya volume darah. Otot yang teregang berkontraksi lebih kuat. Hal ini merupakan mekanisme jantung yang utama untuk meningkatkan kinerjanya dalam gagal jantung. Tetapi sejalan dengan memburuknya gagal jantung, kelebihan cairan akan dilepaskan dari sirkulasi dan berkumpul di berbagai bagian tubuh, menyebabkan pembengkakan (edema). Lokasi penimbunan cairan ini tergantung kepada banyaknya cairan di dalam tubuh dan pengaruh gaya gravitasi. Jika penderita berdiri, cairan akan terkumpul di tungkai dan kaki jika penderita berbaring, cairan akan terkumpul di punggung atau perut. Sering terjadi penambahan berat badan sebagai akibat dari penimbunan air dan garam.
3. Mekanime utama lainnya adalah pembesaran otot jantung (hipertrofi).
Otot jantung yang membesar akan memiliki kekuatan yang lebih besar, tetapi pada akhirnya bisa terjadi kelainan fungsi dan menyebabkan semakin memburuknya gagal jantung. (www.medicastore.com)
E. MANIFESTASI KLINIS
a. Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF, sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya (mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini, sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu d’effort);namun semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar, yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas, kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan regurgitasi tricuspid.
b. Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan dyspneu d’effort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring, disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal. Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF, ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan membutuhkan posisi tegak.
c. Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme, dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics favor an upright posture.
d. Pernapasan Cheyne-Stokes . Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan Cheyne-Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan PCO2. Terdapat fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.
e. Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat, tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
f. Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna, mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema pulmoner.
g. Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia, nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat berperan dalam insomnia. (Husnul Mubarak )
F. PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei HF, begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis.
Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.
Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan kepala membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm H2O (normalnya < 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan.
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S3) dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S3 (atau prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.
Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada kulit.
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk. (Husnul Mubarak, 2008 )
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2. Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
3. Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
4. Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.( Rakhman, Otte. 2003 )
H. DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gagal jantung dibagi 2 menjadi kriteria utama dan kriteria tambahan.
A. Kriteria utama : dispnea paroxismal nokturnal (PND), kardiomegali, gallop S-3, peningkatan tekanan vena, reflex hepatojugular, ronkhi.
B. Kriteria tambahan : edem pergelangan kaki, batuk malam hari, dispnea waktu aktivitas, hepatomegali, efusi pleura, takikardi.
Diagnosis ditetapkan atas adanya 2 kriteria utama atau 1 kriteria utama ditambah 2 kriteria tambahan (Fathoni, 2007).
I. DEFERENSIAL DIAGNOSIS
HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana kongesti sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi tidak terdapat kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal) dan (2) penyebab nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis. syndrome distress pernapasan akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan tanda dan gejala khas untuk HF, diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan ahli berpengalaman memiliki kesulitan untuk membedakan antara sesak napas akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini, pencitraan jantung noninvasif, biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan radiology dapat berguna. Kadar BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah membantu menyingkirkan penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat timbul akibat varises vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF terjadi pada pasien dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak napas akibat kontribusi HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas )
J. PENATALAKSANAAN
Tindakan dan pengobatan pada gagal jantung ditujukan pada 5 aspek : mengurangi beban kerja, memperkuat kontraktilitas miokard, mengurangi kelebihan cairan dan garam, melakukan tindakan terhadap penyebab, faktor pencetus dan penyakit yang mendasari.
Pada umumnya semua penderita gagal jantung dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan. Terapi nonfarmakologi antara lain: diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur (Nugroho, 2009). Beban awal dapat dikurangi dengan pembatasan cairan, pemberian diuretika, nitrat, atau vasodilator lainnya. Beban akhir dikurangi dengan obat-obat vasodilator, seperti ACE-inhibitor, hidralazin. Kontraktilitas dapat ditingkatkan dengan obat ionotropik seperti digitalis, dopamin, dan dobutamin (Sugeng dan Sitompul,2003 )

Rabu, 30 Desember 2009

Hipertensi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Dasar Kerja Jantung
Akibat systole jantung darah terlepas ke luar dengan kekuatan atau tekanan susuai dengan daya peras jantung. Dengan tenaga ini darah mengalir ke aorta, arteri-arteri kapiler seluruh tubuh dan selanjutnya melalui vena-vena, darah kembali ke jantung. Systole jantung terjadi secara berkala, namun berkat adanya sifat elastis daripada dinding aorta, maka aliran darah akan bersifat kontinue. Hanya ada sedikit variasi besarnya tekanan pada waktu systole dan diastole. Systole adalah keadaan ketika ventrikel berkontraksi sedangkan atrium relaksasi, sehingga tekanan intraventrikularis meninggi, hal ini menyebabkan valva atrioventriculare menutup, disamping itu darah akan terpompa menuju aorta dan arteri pulmonalis karena valva semilunaris aorta dan valva atrioventriculare, keadaan seperti ini disebut Bunyi Jantung 1. Sedangkan diastole merupakan keadaan ketika ventrikel relaksasi sedangkan atrium kontraksasi, sehingga tekanan intraatrial meninggi, hal ini menyebabkan valva atrioventrikularis terbuka dan darah dari atrium masuk ke ventrikel, sedangkan valva semilunaris aorta dan pulmonalis tertutup, keadaan seperti ini disebut Bunyi Jantung II.
Hal-hal yang perlu dimengerti sehubungan dengan tekanan darah antara lain sebagai berikut:
1. Mekanisme perubahan kerja/tenaga periodik dari jantung, sehingga menghasilkan aliran darah yang kontinue.
 Pada waktu systole darah dipompa ke aorta, tetapi oleh karena aorta sebelumnya sudah berisi darah makan tambahan darah dari jantung tersebut akan tertimbun mengembangkan dinding aorta.
 Karena dinding aorta bersifat elastis, dan pada waktu diastole darah tidak bisa regurtinasi ke jantung berkat adanya klep maka sekarang darah mendapat dorongan dari dinding aorta yang ingin kembali ke bentuk semula, sehingga kekuatan darah sekarang (tekanan darah) didapat dari tenaga elastisitas dinding aorta tersebut.
2. Reflek pressor dan reflek depresor; Agar keadaan tubuh dan fungsi organ-organ selalu dalam keadaan konstan, maka tekanan darah pun selalu diusahakan dalam keadaan konstan. Adapun reflek yang mengatur tekanan darah yaitu:
 Reflek pressor; merupakan reflek yang bertujuan untuk menaikkan tekanan darah dimana reflek pokoknya adalah reseptor, saraf afferent, centrum, saraf-saraf efferent (gerak dari otot rangka) itu sentrumnya pada medulla oblongata.
 Reflek depressor; merupakan suatu reflek untuk menurunkan tekanan darah.
(Widyasari, 2009)
B. Hipertensi
Etiologi
Suatu sebab khusus hipertensi hanya dapat ditemukan pada 10% sampai 15% penderita. Namun, perlu dipertimbangkan penyebab yang bersifat individual untuk setiap penderita, karena beberapa diantaranya dapat diperbaiki dengan tindakan bedah: konstruksi arteri ginjal, koarktasi aorta, feokromositoma, penyakit Cushing, dan aldosteronisme primer. Penderita-penderita yang tidak diketahui penyebabnya disebut penderita hipertensi esensial. Umunya, peningkatan tekanan darah ini disertai peningkatan umum resistensi darah untuk mengalir melalui arterioli, dengan curah jantung yang normal. Penelitian-penelitian yang seksama terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan ginjal telah gagal mengidentifikasi suatu kalainan primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi esensial. (Bertram G. Katzung, 1998)
Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
(Ridjab DA; 2002)
Patogenesis Hipertensi
Banyak faktor-faktor yang berkontribusi untuk pengembangan hipertensi primer termasuk mekanisme saraf abnormal, kerusakan dalam autoregulasi peripheral, kerusakan sodium, calcium, dan hormon natriuretic, dan malfungsi dari beberapa mekanisme humoral atau vasodepressor.
1. Komponen saraf; Baik sistem saraf sentral (CNS) maupun autonom terlibat dalam pengaturan tekanan darah arteri. Stimulasi beberapa area tertentu dengan CNS (nucleus tractus solitarius, vagal nuclei, pusat vasomotor, dan area postrema) dapat menyababkan peningkatan atau penurunan tekanan darah. Kerusakan patologik pada beberapa componen saraf (terutama 4 komponen saraf utama: CNS, serat-serat saraf autonom, receptor adrenergic, dan baroreceptor) yang memperantarai tekanan darah arteri dapat dapat menyusun sustain elevasi dalam tekanan darah. Karena keempatnya sangat berhubungan secara fisiologis, kerusakan dari salah satu componen bisa merusak fungís normal yang lain, dan dikombinasikan dengan abnormalitas bisa menyebabkan hipertensi.
2. Componen autoregulatory peripheral; Abnormalitas pada ginjal dan proses autoregulatory jaringan bisa menyebabkan hipertensi. Kenyataannya, sangat beralasan untuk mendukung bahwa individu yang develop statu defect ginjal untuk ekskresi sodium dan kemudian mereka mengatur ulang proses autoregulatory jaringan menjadi tekanan darah arteri yang lebih tinggi. Suatu kerusakan inisial dalam mekanisme adaptif ginjal bisa menyebabkan ekspansi volume plasma dan meningkatkan aliran darah ke jaringan peripheral bahkan saat tekanan darah normal. Untuk mengimbangi peningkatan aliran darah, proses autoregulatory jaringan local akan menginduksi konstriksi arteriolar untuk meningkatkan resistensi perifer vaskular. Dalam waktu tersebut, suatu dinding arteri yang lebih tebal bisa terjadi, menghasilkan sebuah kenaikan penahan di resistensi peripheral vascular. Suatu peningkatan total resistensi peripheral vaskular adalah masalah yang dasar pada pasien dengan hipertensi primer.
(Ridjab DA, 2002)
Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasarkan tekanan systole dan diastole antara lain sebagai berikut:
Katagori Tekanan Darah Systole Tekanan Darah Diastole
Normal < 120 mmHg and < 80 mmHg
Prahipertensi 120 – 139 mmHg or 80 – 89 mmHg
Hipertensi Stage 1 140 – 159 mmHg or 90 – 99 mmHg
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 mmHg or ≥ 100 mmHg

Sedangkan klasifikasi hipertensi merunut penyebabnya dapat digolongkan dalam 2 hal yaitu primer dan sekunder, berikut adalah penjelasan selengkapnya:
1. Hipertensi Primer; suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi. Hampir lebih dari 95% masyarakat pada umumnya dapat terkena hipertensi primer ini.
2. Hipertensi Sekunder; hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Beberapa sebab hipertensi sekunder antara lain: obat/faktor eksogen, kelainan ginjal, kelainan endokrin, koartasio aorta, kehamilan, kelainan saraf, dan pembedahan.
(JNC 7 Express, 2003)
Diagnosis
Diagnosis dapat kita peroleh dari hasil beberapa tahap pemeriksaan, atara lain:
1. Anamnesis; dari hasil anamnesis dapat diperoleh data-data berupa identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, serta keluhan-keluhan yang telah dirasakan)
2. Vital Sign; meliputi beberapa tahap pemeriksaan yaitu: palpasi nadi dan auskultasi dengan harapan mampu menentukan frekuensi nadi, rithme (irama nadi), pengisiannya, gelombang, tegangan, nadi Equel/non Equel, perbandingan nadi kanan dan kiri, dan keadaan dinding pembuluh darah. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah untuk menentukan systole dan diastole sehingga dapat diketahui hasil dari tekanan darah seseorang untuk menentukan derajat hipertensi beserta tatalaksananya.
3. Pemeriksaan Laboratorium; pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis hipertensi natara lain:
 Pemeriksaan kolesterol; pemeriksaan kadar kolesterol digunakan untuk memonitoring efektifitas diet, pengobatan, perubahan gaya hidup, dan menegemen stress.
 Pemeriksaan High Density Lipoprotein atau HDL; merupakan lemak “baik” karena kadar yang tinggi dapat mencegah terjadinya arteriosklerosis. HDL membawa kolesterol dari arteri ke hepar untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh (reverse cholesterol pathway). Kadar HDL dalam serum digunakan untuk menentukan resiko terjadinya CAD dan memonitor pengobatan serta terapi.
 Pemeriksaan Trigliserid; digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya atherosclerosis dan untuk melihat kemampuan tubuh melakukan metabolisme terhadap lemak yang dikonsumsi. Karena kadar kolesterol dan trigliserid tidak saling berhubungan maka pemeriksaan keduanya mempunyai arti yang sangat penting untuk memperkirakan terjadinya aterosklerosis.
 Pemeriksaan LDL (Low Density Lipoprotein); sekitar 60% - 70% dari total serum kolesterol adalah LDL. LDL adalah kolesterol yang “jahat” sebab sering dihubungkan dengan insiden aterosklerosis dan CHD. Pemeriksaan LDL mempunyai half life panjang (3-4 hari) sehingga mudah diperiksa.
 Pemeriksaan Koagulasi.
(Widyasari, 2009)
4. Pemeriksaan Penunjang; pemeriksaan penunjang meliputi EKG 12 sadapan untuk memantau kelistrikan jantung dan pemeriksaan radiografi (Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta).
(S. Silbernagl, 2007)
C. Manifestasi Klinis Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan.
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
6. Tengkuk terasa pegal.
7. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
(Ridjab DA, 2002)
D. Komplikasi dan Prognosis Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg pada individu berusia lebih dari 50 tahun, merupakan faktor resiko kardiovaskular yang penting. Selain itu dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg, kenaikan setiap 20/10 mmHg meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler sebanyak dua kali. Prognosis 95% baik dengan terapi, tetapi tanpa terapi sangat buruk.
(Cortas K, 2008)
E. Tatalaksana dan Pencegahan Hipertensi
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB). Pemberian obat untuk terapi farmakologi ini tidak dapat diberikan 2 (dua) obat yang dalam 1 (satu) golongan, dan harus dengan kombinasi berbeda golongan.
Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain:
1. Summary of effects antihypertensive agents on serum lipid profil
Drugs Total
Cholesterol LDL HDL Triglyceride
1. Thiazides ↑ ↑ ↔ ↑
2. Beta Blockers ↔ ↔ ↓ ↑
3. ACE inhibitors ↔ ↔ ↔ ↔
4. Ca antagonist ↔ ↔ ↔ ↔
↑ : increase ↓ : decrease ↔ : no change
2. Summary of biochemical effect of antihypertensive drugs
Drugs Potassium Uric Acid Glucose Cholesterol
1. Thiazides diurectics ↓ ↑ ↑ ↑
2. Beta Blockers ↔ ↔ ↑ ↔ ↑
3. ACE inhibitors ↔ ↔ ↔ ↔
4. Ca antagonist ↔ ↔ ↔ ↓
↑ : increase ↓ : decrease ↔ : no change

3. Influence of antyhypertensive agents on left ventricular hypertrophy (LVH)

Drugs Rats Hummans
1. TDiureticshiazides No effect No effect/ Increase
2. Beta Blockers Reduce/ No effect Reduce/ No effect
3. ACE inhibitors Reduce Reduce
4. Ca antagonist Reduce Reduce

Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih; Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
1. Meningkatkan aktifitas fisik; Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak lebih dari 3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
2. Mengurangi asupan natrium; Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter.
3. Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol; Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
(Armilawaty dkk, 2008)
F. Prosedur Pemberian Resep
Seperti halnya dengan proses lain dalam kedokteran, penulisan resep harus di dasarkan pada suatu seri tahapan rasional. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Membuat diagnosis spesifik
2. Pertimbangan patofisiologi dari diagnosis yang diperoleh
3. Memilih sasaran terapi spesifik
4. Menentukan obat pilihan
5. Penentuan regimen dosis yang sesuai
6. Merancang rencana untuk monitoring kerja obat dan menentukan kapan terapi berakhir
7. Merancang pendidikan pasien
Badan resep terdiri dari elemen-elemen yang mencantumkan obat spesifik, jumlah yang diberikan, dosis, dan cara penggunaan yang lengkap. Jika penulisan nama obat dapat digunakan juga nama/merk dagang (nama dari pabrik) atau nama generik (bukan nama dagang). Kekuatan obat harus ditulis dalam satuan metrik, walaupun demikian penulis resep resep harus memahami kedua sistem yang sekarang digunakan: yaitu menurut apoteker dan metrik. Untuk cara pemakaian yang lebih sederhana akan lebih baik, dan lebih sedikit jumlah dosisnya akan lebih baik. Instruksi bagaimana dan kapan obat diminum, lama terapi, dan tujuan minum obat harus diterangkan pada setiap pasien oleh dokter atau apoteker. Untuk pendidikan pasien dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien, hal ini perlu diberikan untuk menciptakan kepatuhan pasien terhadap kegagalan dalam mengikuti regimen dosis.
(Bertram G. Katzung, 1998)

Minggu, 27 Desember 2009

Jantung

I. INFARK MIOKARD AKUT
A. DEFINISI
Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner; prosesnya mula-mula berawal dari rupturnya plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral (Setiawan T, 2005).
B. ETIOLOGI
Intinya AMI terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkab kematian sel-sel jantung tersebut. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya:
1. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard.
Menurunya suplai oksigen disebabkan oleh tiga factor, antara lain:
a. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis, spasme, dan arteritis.
Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (a) mengkonsumsi obat-obatan tertentu; (b) stress emosional atau nyeri; (c) terpapar suhu dingin yang ekstrim, (d) merokok.
b. Faktor Sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari factor pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung (aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardac out put (COP). Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan bebarapa bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
c. Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya angkut darah antara lain: anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
2. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivtas berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karea semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksien menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektive. (Alwi, 2007)
C. EPIDEMIOLOGI
Kematian mendadak, yang dalam bahasa aslinya disebut sudden cardiac death, didefinisikan sebagai kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian sudden cardiac death (SCD) mencapai 400.000 kasus per tahun. Jumlah ini hampir 50 persen dari seluruh kematian yang terjadi. Keadaan yang sama bisa jadi dialami juga oleh negara kita, khususnya di perkotaan, di mana pola penyakitnya sudah sama dengan pola penyakit negara-negara maju.
SCD dapat terjadi pada orang yang memiliki sakit jantung yang manifes secara klinis maupun pada penyakit jantung yang “silent”. Artinya, kematian mendadak dapat terjadi baik pada mereka yang telah diketahui menderita sakit jantung sebelumnya maupun pada mereka yang dianggap sehat-sehat saja selama ini. Wanita yang pernah mengalami serangan jantung atau infark miokard akut (IMA) memiliki peluang yang sama dengan pria untuk mengalami SCD. Studi Framingham, suatu landmark studi epidemiologik jangka panjang, menunjukkan bahwa pada penderita dengan riwayat penyakit jantung, pria mempunyai risiko SCD 2-4 kali lipat dibandingkan dengan wanita. Sementara itu, data yang lebih baru dari Abildstrom dan kawan-kawan yang melakukan studi prospektif selama empat tahun pada 6.000 pasien yang selamat dari IMA menemukan bahwa pria mengalami SCD hanya 1,3 kali lebih sering dibanding wanita. Temuan yang dipublikasikan itu menunjukkan peningkatan SCD pada wanita.
Sejumlah besar data menunjukkan bahwa wanita dan dokternya harus memahami bahwa penyakit jantung dan SCD bukan hanya isu kaum adam atau manula saja. Beberapa peneliti dari National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion Amerika Serikat mendapatkan bahwa kejadian kematian mendadak yang disebabkan penyakit jantung yang dialami oleh wanita muda meningkat lebih dari 31 persen selama periode 1989-1996. Padahal, pria hanya mengalami peningkatan sekitar 10 persen selama periode yang sama.
Temuan ini sangat mengejutkan para ahli sehingga secara aktif digali faktor-faktor yang diduga menyebabkan keadaan tersebut. Peningkatan yang bermakna dari frekuensi kejadian diabetes, overweight dan obesitas pada wanita, kecenderungan meningkatnya wanita perokok, dan screening kesehatan serta pengobatan penyakit jantung yang kurang agresif pada wanita dibandingkan pria diduga merupakan faktor-faktor yang turut berperan pada peningkatan SCD pada wanita.
Kemudian, data lain juga menunjukkan bahwa wanita kurang menyadari gejala serangan jantung sehingga terlambat mendapatkan pertolongan. Wanita tidak mendapatkan perawatan yang tepat waktu karena mereka dan dokternya lambat mengambil kesimpulan terhadap suatu gejala penyakit jantung. Badan epidemiologi nasional di Amerika mendapatkan bahwa proporsi wanita yang mengalami kematian di luar rumah sakit lebih tinggi dari pada pria. Hampir 52 persen wanita yang mengalami SCD terjadi di luar rumah sakit, dibandingkan hanya 42 persen pada pria. Hal ini terjadi karena gejala penyakit jantung pada wanita sering berbeda dengan pria sehingga terlambat dikenali.( Satiawan T, 2005 )
D. PATOGENESIS
Umumnya Infark Miokard didasari oleh adanya arteriosklerosis pembuluh darah koroner. Secara marfologis Infark Miokard dapat berupa transmural atau sub endokardial. Infark Miokard transmural mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada distribusi suatu arteri koroner. Sebaliknya pada Infark Miokard subendokardial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berbercak-bercak dan tidak konfluens seperti Infark Miokard transmurAL.
Infark Miokard subendokardial dapat regional (terjadi pada distribusi satu-satu arteri koronaria) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari satu arteri koroner). Patogenitas dan perjalanan kedua jenis Infark Miokard ini berbeda.
E. PATOFISIOLOGI
Arteri koroner kiri mempengaruhi sebagian besar ventrikel kiri, septum dan atrium kiri. Arteri koroner kanan mempengaruhi sisi diafragma ventrikel kiri, sedikit bagian posterior septum dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering dipengaruhi oleh arteri koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks). Pada nodus AV, 90% dipengaruhi oleh arteri koroner kanan dan 10% dari sisi kiri cabang sirkumfleks. Kedua nodus SA dan AV juga mendapat darah dari arteri kugel. Jadi jelaslah obstruksi pada arteri koroner kiri sering menyebabkan infark anterior, dan infark inferior disebabkan oleh obstruksi pada arteri koroner kanan. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan kolateral telah terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat dicerminkan oleh pembuluh asal yang terkena. Pada nekrosis daerah infark miokard mungkin sulit dikenali pada 24 – 48 jam pertama. Setelah itu serat-serat miokard membengkak dan nuklei menghilang. Di tepi infark dapat terlihat perdarahan. Dalam beberapa hari pertama daerah infark akut amat lemah. Secara histologis penyembuhan dapat tercapai sekurang-kurangnya setelah empat minggu, umumnya setelah enam minggu.
Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengdakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsang adrenergik untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi.
Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis. Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.
Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan ifark. ( Sudoyo, 2007 )
F. DIAGNOSIS
Diagnosis IMA dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari 3 kriteria :
1. Nyeri dada khas infark, nyeri dada ini dirasakan lebih dari 20 menit , tidak ada hubungannya dengan aktivitas atau latihan dan tidak membaik dengan pemberian obat anti angina dan istirahat.
2. Peningkatan serum enzim lebih dari 1 ½ kali nilai normal.
3. Evolusi EKG khas infark, dengan ditemukannya elevasi segmen ST atau justru depresi akibat iskemia, lambat laun terjadi gel Q yang besar (gel Q patologis) akibat jaringan yang mati (infark), dan inverse gel T akibat iskemia.
G. DIAGNOSIS BANDING
Perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan GI. IMA dengan elevasi ST tanpa nyeri lebih sering pada DM dan usia lanjut (Alwi, 2007).
H. MEKANISME KLINIS
Tidak semua serangan mulai secara tiba-tiba disertai nyeri yang sangat parah seperti yang sering kita lihat pada tayangan TV atau sinema. Tanda dan gejala dari serangan jantung tiap orang tidak sama. Banyak serangan jantung berjalan lambat sebagai nyeri ringan atau perasaan tidak nyaman. Bahkan beberapa orang tanpa gejala sedikitpun (dinamakan silent heart attack)
Akan tetapi pada umumnya serangan AMI ini ditandai oleh beberapa hal berikut:
a. Nyeri Dada
Mayoritas pasien AMI (90%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyer pada AMI lebih panjang yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak.
Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut.
Mskipun AMI memiliki cirri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hipervenntilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna
c. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan
d. Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstrimitas)
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penegakan diagnosa serangan jantung berdasarkan gejala, riwayat kesehatan prbadi dan kelarga, serta hasil test diagnostic.
a. EKG (Electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan menmghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemik terjasi lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau berhari-hari berikutnya, gelombang T membalik. Sesuai dengan umur infark miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R pada V1 – V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior
b. Test Darah
Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-protein tertentu keluar masuk aliran darah.
Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu.
Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T.
Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal.
Troponin T & I merupakan protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung, terutama Troponin T (TnT)
Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-3 minggu.
Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama; peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.
d. Coronary Angiography
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.
Dokter memasukan kateter melalui arteri pada lengan atau paha menujua jantung. Prosedur ini dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner
Zat kontras yang terlihat melalui sinar x diinjeksikan melalui ujung kateter pada aliran darah. Zat kontras itu memingkinkan dokter dapat mempelajari aliran darah yang melewati pembuluh darah dan jantung
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dpat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.
J. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penanganan pada infark miokard adalah menghentikan perkembangan serangan jantung, menurunkan beban kerja jantung (memberikan kesempatan untuk penyembuhan) dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan pada pasien dengan AMI:
a) Berikan oksigen meskipun kadar oksigen darah normal. Persediaan oksigen yang melimpah untuk jaringan, dapat menurunkan beban kerja jantung. Oksigen yang diberikan 5-6 L /menit melalu binasal kanul.
b) Pasang monitor kontinyu EKG segera, karena aritmia yang mematikan dapat terjadi dalam jam-jam pertama pasca serangan.
c) Pasien dalam kondisi bedrest untuk menurunkan kerja jantung sehingga mencegah kerusakan otot jantung lebih lanjut. Mengistirahatkan jantung berarti memberikan kesempatan kepada sel-selnya untuk memulihkan diri.
d) Pemasangan IV line untuk memudahkan pemberan obat-obatan dan nutrisi yang diperlukan. Pada awal-awal serangan pasien tidak diperbolehkan mendapatkan asupa nutrisi lewat mulut karena akan meningkatkan kebutuhan tubuh erhadap oksigen sehingga bisa membebani jantung.
e) Pasien yang dicurigai atau dinyatakan mengalami infark seharusnya mendapatkan aspirin (antiplatelet) untuk mencegah pembekuan darah. Sedangkan bagi pasien yang elergi terhadap aspirin dapat diganti dengan clopidogrel.
f) Nitroglycerin dapat diberikan untuk menurunkan beban kerja jantung dan memperbaiki aliran darah yang melalui arteri koroner. Nitrogliserin juga dapat membedakan apakah ia Infark atau Angina, pada infark biasanya nyeri tidak hilang dengan pemberian nitrogliserin.
g) Morphin merupakan antinyeri narkotik paling poten, akan tetapi sangat mendepresi aktivitas pernafasan, sehingga tdak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat gangguan pernafasan. Sebagai gantinya maka digunakan petidin
Pada prinsipnya jika mendapatkan korban yang dicurigai mendapatkan serangan jantung, segera hubungi 118 untuk mendapatkan pertolongan segera. Karena terlambat 1-2 menit saa nyawa korban mungkin tidak terselamatkan lagi.
Obat-obatan yang digunakan pada pasien dengan AMI diantaranya:
1. Obat-obatan trombolitik
Obat-obatan ini ditujukan untuk memperbaiki kembali airan darah pembuluh darah koroner, sehingga referfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut.
Obat-obatan ini digunakan untuk melarutkan bekuan darah yang menyumbat arteri koroner. Waktu paling efektive pemberiannya adalah 1 jam stelah timbul gejal pertama dan tidak boleh lebih dari 12 am pasca serangan. Selain itu tidak boleh diberikan pada pasien diatas 75 tahun
Contohnya adalah streptokinase
2. Beta Blocker
Obat-obatan ini menrunkan beban kerja jantung. Bisa juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau ketidaknyamanan dan juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta bloker juga bisa digunakan untuk memperbaiki aritmia.
Terdapat dua jenis yaitu cardioselective (metoprolol, atenolol, dan acebutol) dan non-cardioselective (propanolol, pindolol, dan nadolol)
3. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk memperlambat kelemahan pada otot jantung.
Misalnya captropil
4. Obat-obatan antikoagulan
Obat- obatan ini mengencerkan darah dan mencegah pembentukan bekuan darah pada arteri.
Missal: heparin dan enoksaparin.
5. Obat-obatan Antiplatelet
Obat-obatan ini (misal aspirin dan clopidogrel) menghentikan platelet untuk membentuk bekuan yang tidak diinginkan.
Jika obat-obatan tidak mampu menangani/menghentikan serangan jantung., maka dpat dilakukan tindakan medis, yaitu antara lain
a. Angioplasti
Tindakan non-bedah ini dapat dilakukan dengan membuka arteri koroner yang tersumbat oleh bekuan darah. Selama angioplasty kateter dengan balon pada ujungnya dimasukan melalui pembuluh darah menuju arteri koroner yang tersumbat. Kemudian balon dikembangkan untuk mendorong plaq melawan dinding arteri. Melebarnya bagian dalam arteri akan mengembalikan aliran darah.
Pada angioplasti, dapat diletakan tabung kecil (stent) dalam arteri yang tersumbat sehingga menjaganya tetap terbuka. Beberapa stent biasanya dilapisi obat-obatan yang mencegah terjadinya bendungan ulang pada arteri.
b. CABG (Coronary Artery Bypass Grafting)
Merupakan tindakan pembedahan dimana arteri atau vena diambil dari bagian tubuh lain kemudian disambungkan untuk membentuk jalan pintas melewati arteri koroner yang tersumbat. Sehingga menyediakan jalan baru untuk aliran darah yang menuju sel-sel otot jantung.
Setelah pasien kembali ke rumah maka penanganan tidak berhenti, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Mematuhi manajemen terapi lanjutan dirumah baik berupa obat-obatan maupn mengikuti program rehabilitasi.
b) Melakukan upaya perubahan gaya hidup sehat yang bertujuan untuk menurunkan kemungkinan kekambuhan, misalnya antara lain: menghindari merokok, menurunkan BB, merubah dit, dan meningatkan aktivitas fisik.
(Mansjoer ed., 2005).
K. KOMPLIKASI
1. Aritmia
2. Gagal jantung
3. Syok kardiogenik
4. Trombo-embolisme
5. Perikarditis
6. Aneurisma ventrikel
7. Regurgitasi mitral akut
8. Ruptur jantung dan septum
L. PROGNOSIS
Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis, yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemia lebih jauh, dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik.Sebagian besar penderita yang bertahan hidup selama beberapa hari setelah serangan jantung dapat mengalami kesembuhan total; tetapi sekitar 10% meninggal dalam waktu 1 tahun. Kematian terjadi dalam waktu 3-4 bulan pertama,—>( pada ayah saia,terjadi cuman dalam waktu 5hari setelah serangan hari pertama.) terutama pada penderita yang kembali mengalami angina, aritmia ventrikuler dan gagal jantung.