Rabu, 30 Desember 2009

Hipertensi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Dasar Kerja Jantung
Akibat systole jantung darah terlepas ke luar dengan kekuatan atau tekanan susuai dengan daya peras jantung. Dengan tenaga ini darah mengalir ke aorta, arteri-arteri kapiler seluruh tubuh dan selanjutnya melalui vena-vena, darah kembali ke jantung. Systole jantung terjadi secara berkala, namun berkat adanya sifat elastis daripada dinding aorta, maka aliran darah akan bersifat kontinue. Hanya ada sedikit variasi besarnya tekanan pada waktu systole dan diastole. Systole adalah keadaan ketika ventrikel berkontraksi sedangkan atrium relaksasi, sehingga tekanan intraventrikularis meninggi, hal ini menyebabkan valva atrioventriculare menutup, disamping itu darah akan terpompa menuju aorta dan arteri pulmonalis karena valva semilunaris aorta dan valva atrioventriculare, keadaan seperti ini disebut Bunyi Jantung 1. Sedangkan diastole merupakan keadaan ketika ventrikel relaksasi sedangkan atrium kontraksasi, sehingga tekanan intraatrial meninggi, hal ini menyebabkan valva atrioventrikularis terbuka dan darah dari atrium masuk ke ventrikel, sedangkan valva semilunaris aorta dan pulmonalis tertutup, keadaan seperti ini disebut Bunyi Jantung II.
Hal-hal yang perlu dimengerti sehubungan dengan tekanan darah antara lain sebagai berikut:
1. Mekanisme perubahan kerja/tenaga periodik dari jantung, sehingga menghasilkan aliran darah yang kontinue.
 Pada waktu systole darah dipompa ke aorta, tetapi oleh karena aorta sebelumnya sudah berisi darah makan tambahan darah dari jantung tersebut akan tertimbun mengembangkan dinding aorta.
 Karena dinding aorta bersifat elastis, dan pada waktu diastole darah tidak bisa regurtinasi ke jantung berkat adanya klep maka sekarang darah mendapat dorongan dari dinding aorta yang ingin kembali ke bentuk semula, sehingga kekuatan darah sekarang (tekanan darah) didapat dari tenaga elastisitas dinding aorta tersebut.
2. Reflek pressor dan reflek depresor; Agar keadaan tubuh dan fungsi organ-organ selalu dalam keadaan konstan, maka tekanan darah pun selalu diusahakan dalam keadaan konstan. Adapun reflek yang mengatur tekanan darah yaitu:
 Reflek pressor; merupakan reflek yang bertujuan untuk menaikkan tekanan darah dimana reflek pokoknya adalah reseptor, saraf afferent, centrum, saraf-saraf efferent (gerak dari otot rangka) itu sentrumnya pada medulla oblongata.
 Reflek depressor; merupakan suatu reflek untuk menurunkan tekanan darah.
(Widyasari, 2009)
B. Hipertensi
Etiologi
Suatu sebab khusus hipertensi hanya dapat ditemukan pada 10% sampai 15% penderita. Namun, perlu dipertimbangkan penyebab yang bersifat individual untuk setiap penderita, karena beberapa diantaranya dapat diperbaiki dengan tindakan bedah: konstruksi arteri ginjal, koarktasi aorta, feokromositoma, penyakit Cushing, dan aldosteronisme primer. Penderita-penderita yang tidak diketahui penyebabnya disebut penderita hipertensi esensial. Umunya, peningkatan tekanan darah ini disertai peningkatan umum resistensi darah untuk mengalir melalui arterioli, dengan curah jantung yang normal. Penelitian-penelitian yang seksama terhadap fungsi sistem saraf otonom, refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan ginjal telah gagal mengidentifikasi suatu kalainan primer penyebab meningkatnya resistensi pembuluh darah tepi pada hipertensi esensial. (Bertram G. Katzung, 1998)
Patofisiologi Hipertensi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.
(Ridjab DA; 2002)
Patogenesis Hipertensi
Banyak faktor-faktor yang berkontribusi untuk pengembangan hipertensi primer termasuk mekanisme saraf abnormal, kerusakan dalam autoregulasi peripheral, kerusakan sodium, calcium, dan hormon natriuretic, dan malfungsi dari beberapa mekanisme humoral atau vasodepressor.
1. Komponen saraf; Baik sistem saraf sentral (CNS) maupun autonom terlibat dalam pengaturan tekanan darah arteri. Stimulasi beberapa area tertentu dengan CNS (nucleus tractus solitarius, vagal nuclei, pusat vasomotor, dan area postrema) dapat menyababkan peningkatan atau penurunan tekanan darah. Kerusakan patologik pada beberapa componen saraf (terutama 4 komponen saraf utama: CNS, serat-serat saraf autonom, receptor adrenergic, dan baroreceptor) yang memperantarai tekanan darah arteri dapat dapat menyusun sustain elevasi dalam tekanan darah. Karena keempatnya sangat berhubungan secara fisiologis, kerusakan dari salah satu componen bisa merusak fungĂ­s normal yang lain, dan dikombinasikan dengan abnormalitas bisa menyebabkan hipertensi.
2. Componen autoregulatory peripheral; Abnormalitas pada ginjal dan proses autoregulatory jaringan bisa menyebabkan hipertensi. Kenyataannya, sangat beralasan untuk mendukung bahwa individu yang develop statu defect ginjal untuk ekskresi sodium dan kemudian mereka mengatur ulang proses autoregulatory jaringan menjadi tekanan darah arteri yang lebih tinggi. Suatu kerusakan inisial dalam mekanisme adaptif ginjal bisa menyebabkan ekspansi volume plasma dan meningkatkan aliran darah ke jaringan peripheral bahkan saat tekanan darah normal. Untuk mengimbangi peningkatan aliran darah, proses autoregulatory jaringan local akan menginduksi konstriksi arteriolar untuk meningkatkan resistensi perifer vaskular. Dalam waktu tersebut, suatu dinding arteri yang lebih tebal bisa terjadi, menghasilkan sebuah kenaikan penahan di resistensi peripheral vascular. Suatu peningkatan total resistensi peripheral vaskular adalah masalah yang dasar pada pasien dengan hipertensi primer.
(Ridjab DA, 2002)
Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut WHO berdasarkan tekanan systole dan diastole antara lain sebagai berikut:
Katagori Tekanan Darah Systole Tekanan Darah Diastole
Normal < 120 mmHg and < 80 mmHg
Prahipertensi 120 – 139 mmHg or 80 – 89 mmHg
Hipertensi Stage 1 140 – 159 mmHg or 90 – 99 mmHg
Hipertensi Stage 2 ≥ 160 mmHg or ≥ 100 mmHg

Sedangkan klasifikasi hipertensi merunut penyebabnya dapat digolongkan dalam 2 hal yaitu primer dan sekunder, berikut adalah penjelasan selengkapnya:
1. Hipertensi Primer; suatu kondisi dimana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi. Hampir lebih dari 95% masyarakat pada umumnya dapat terkena hipertensi primer ini.
2. Hipertensi Sekunder; hipertensi yang disebabkan/ sebagai akibat dari adanya penyakit lain. Beberapa sebab hipertensi sekunder antara lain: obat/faktor eksogen, kelainan ginjal, kelainan endokrin, koartasio aorta, kehamilan, kelainan saraf, dan pembedahan.
(JNC 7 Express, 2003)
Diagnosis
Diagnosis dapat kita peroleh dari hasil beberapa tahap pemeriksaan, atara lain:
1. Anamnesis; dari hasil anamnesis dapat diperoleh data-data berupa identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, tinggi badan, berat badan, serta keluhan-keluhan yang telah dirasakan)
2. Vital Sign; meliputi beberapa tahap pemeriksaan yaitu: palpasi nadi dan auskultasi dengan harapan mampu menentukan frekuensi nadi, rithme (irama nadi), pengisiannya, gelombang, tegangan, nadi Equel/non Equel, perbandingan nadi kanan dan kiri, dan keadaan dinding pembuluh darah. Selain itu juga perlu dilakukan pemeriksaan tekanan darah untuk menentukan systole dan diastole sehingga dapat diketahui hasil dari tekanan darah seseorang untuk menentukan derajat hipertensi beserta tatalaksananya.
3. Pemeriksaan Laboratorium; pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis hipertensi natara lain:
 Pemeriksaan kolesterol; pemeriksaan kadar kolesterol digunakan untuk memonitoring efektifitas diet, pengobatan, perubahan gaya hidup, dan menegemen stress.
 Pemeriksaan High Density Lipoprotein atau HDL; merupakan lemak “baik” karena kadar yang tinggi dapat mencegah terjadinya arteriosklerosis. HDL membawa kolesterol dari arteri ke hepar untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh (reverse cholesterol pathway). Kadar HDL dalam serum digunakan untuk menentukan resiko terjadinya CAD dan memonitor pengobatan serta terapi.
 Pemeriksaan Trigliserid; digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya atherosclerosis dan untuk melihat kemampuan tubuh melakukan metabolisme terhadap lemak yang dikonsumsi. Karena kadar kolesterol dan trigliserid tidak saling berhubungan maka pemeriksaan keduanya mempunyai arti yang sangat penting untuk memperkirakan terjadinya aterosklerosis.
 Pemeriksaan LDL (Low Density Lipoprotein); sekitar 60% - 70% dari total serum kolesterol adalah LDL. LDL adalah kolesterol yang “jahat” sebab sering dihubungkan dengan insiden aterosklerosis dan CHD. Pemeriksaan LDL mempunyai half life panjang (3-4 hari) sehingga mudah diperiksa.
 Pemeriksaan Koagulasi.
(Widyasari, 2009)
4. Pemeriksaan Penunjang; pemeriksaan penunjang meliputi EKG 12 sadapan untuk memantau kelistrikan jantung dan pemeriksaan radiografi (Foto rontgen dada seringmenunjukkan bentuk jantung yang normal; pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta).
(S. Silbernagl, 2007)
C. Manifestasi Klinis Hipertensi
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan.
Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa:
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
3. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
6. Tengkuk terasa pegal.
7. Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
(Ridjab DA, 2002)
D. Komplikasi dan Prognosis Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Tekanan darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya komplikasi tersebut. Hipertensi yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Tekanan darah sistolik melebihi 140 mmHg pada individu berusia lebih dari 50 tahun, merupakan faktor resiko kardiovaskular yang penting. Selain itu dimulai dari tekanan darah 115/75 mmHg, kenaikan setiap 20/10 mmHg meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler sebanyak dua kali. Prognosis 95% baik dengan terapi, tetapi tanpa terapi sangat buruk.
(Cortas K, 2008)
E. Tatalaksana dan Pencegahan Hipertensi
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
1. Target tekanan darah yatiu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg
2. Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
3. Menghambat laju penyakit ginjal
Terapi Farmakologi
Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB). Pemberian obat untuk terapi farmakologi ini tidak dapat diberikan 2 (dua) obat yang dalam 1 (satu) golongan, dan harus dengan kombinasi berbeda golongan.
Beberapa pertimbangan yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain:
1. Summary of effects antihypertensive agents on serum lipid profil
Drugs Total
Cholesterol LDL HDL Triglyceride
1. Thiazides ↑ ↑ ↔ ↑
2. Beta Blockers ↔ ↔ ↓ ↑
3. ACE inhibitors ↔ ↔ ↔ ↔
4. Ca antagonist ↔ ↔ ↔ ↔
↑ : increase ↓ : decrease ↔ : no change
2. Summary of biochemical effect of antihypertensive drugs
Drugs Potassium Uric Acid Glucose Cholesterol
1. Thiazides diurectics ↓ ↑ ↑ ↑
2. Beta Blockers ↔ ↔ ↑ ↔ ↑
3. ACE inhibitors ↔ ↔ ↔ ↔
4. Ca antagonist ↔ ↔ ↔ ↓
↑ : increase ↓ : decrease ↔ : no change

3. Influence of antyhypertensive agents on left ventricular hypertrophy (LVH)

Drugs Rats Hummans
1. TDiureticshiazides No effect No effect/ Increase
2. Beta Blockers Reduce/ No effect Reduce/ No effect
3. ACE inhibitors Reduce Reduce
4. Ca antagonist Reduce Reduce

Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologis terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak, latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur.
Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih; Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
1. Meningkatkan aktifitas fisik; Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak lebih dari 3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
2. Mengurangi asupan natrium; Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter.
3. Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol; Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi.
(Armilawaty dkk, 2008)
F. Prosedur Pemberian Resep
Seperti halnya dengan proses lain dalam kedokteran, penulisan resep harus di dasarkan pada suatu seri tahapan rasional. Proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Membuat diagnosis spesifik
2. Pertimbangan patofisiologi dari diagnosis yang diperoleh
3. Memilih sasaran terapi spesifik
4. Menentukan obat pilihan
5. Penentuan regimen dosis yang sesuai
6. Merancang rencana untuk monitoring kerja obat dan menentukan kapan terapi berakhir
7. Merancang pendidikan pasien
Badan resep terdiri dari elemen-elemen yang mencantumkan obat spesifik, jumlah yang diberikan, dosis, dan cara penggunaan yang lengkap. Jika penulisan nama obat dapat digunakan juga nama/merk dagang (nama dari pabrik) atau nama generik (bukan nama dagang). Kekuatan obat harus ditulis dalam satuan metrik, walaupun demikian penulis resep resep harus memahami kedua sistem yang sekarang digunakan: yaitu menurut apoteker dan metrik. Untuk cara pemakaian yang lebih sederhana akan lebih baik, dan lebih sedikit jumlah dosisnya akan lebih baik. Instruksi bagaimana dan kapan obat diminum, lama terapi, dan tujuan minum obat harus diterangkan pada setiap pasien oleh dokter atau apoteker. Untuk pendidikan pasien dapat disesuaikan dengan tingkat pendidikan pasien, hal ini perlu diberikan untuk menciptakan kepatuhan pasien terhadap kegagalan dalam mengikuti regimen dosis.
(Bertram G. Katzung, 1998)

Minggu, 27 Desember 2009

Jantung

I. INFARK MIOKARD AKUT
A. DEFINISI
Infark miokardium adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah ke otot jantung. Infark miokard biasanya disebabkan oleh trombus arteri koroner; prosesnya mula-mula berawal dari rupturnya plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya infark miokard tergantung pada jenis arteri yang oklusi dan aliran darah kolateral (Setiawan T, 2005).
B. ETIOLOGI
Intinya AMI terjadi jika suplai oksigen yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkab kematian sel-sel jantung tersebut. Beberapa hal yang menimbulkan gangguan oksigenasi tersebut diantaranya:
1. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard.
Menurunya suplai oksigen disebabkan oleh tiga factor, antara lain:
a. Faktor pembuluh darah
Hal ini berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang bisa mengganggu kepatenan pembuluh darah diantaranya: atherosclerosis, spasme, dan arteritis.
Spasme pembuluh darah bisa juga terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya, dan biasanya dihubungkan dengan beberapa hal antara lain: (a) mengkonsumsi obat-obatan tertentu; (b) stress emosional atau nyeri; (c) terpapar suhu dingin yang ekstrim, (d) merokok.
b. Faktor Sirkulasi
Sirkulasi berkaitan dengan kelancaran peredaran darah dari jantung keseluruh tubuh sampai kembali lagi ke jantung. Sehingga hal ini tidak akan lepas dari factor pemompaan dan volume darah yang dipompakan. Kondisi yang menyebabkan gangguan pada sirkulasi diantaranya kondisi hipotensi. Stenosis maupun isufisiensi yang terjadi pada katup-katup jantung (aorta, mitrlalis, maupun trikuspidalis) menyebabkan menurunnya cardac out put (COP). Penurunan COP yang diikuti oleh penurunan sirkulasi menyebabkan bebarapa bagian tubuh tidak tersuplai darah dengan adekuat, termasuk dalam hal ini otot jantung.
c. Faktor darah
Darah merupakan pengangkut oksigen menuju seluruh bagian tubuh. Jika daya angkut darah berkurang, maka sebagus apapun jalan (pembuluh darah) dan pemompaan jantung maka hal tersebut tidak cukup membantu. Hal-hal yang menyebabkan terganggunya daya angkut darah antara lain: anemia, hipoksemia, dan polisitemia.
2. Meningkatnya kebutuhan oksigen tubuh
Pada orang normal meningkatnya kebutuhan oksigen mampu dikompensasi diantaranya dengan meningkatkan denyut jantung untuk meningkatkan COP. Akan tetapi jika orang tersebut telah mengidap penyakit jantung, mekanisme kompensasi justru pada akhirnya makin memperberat kondisinya karena kebutuhan oksigen semakin meningkat, sedangkan suplai oksigen tidak bertambah.
Oleh karena itu segala aktivitas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen akan memicu terjadinya infark. Misalnya: aktivtas berlebih, emosi, makan terlalu banyak dan lain-lain. Hipertropi miokard bisa memicu terjadinya infark karea semakin banyak sel yang harus disuplai oksigen, sedangkan asupan oksien menurun akibat dari pemompaan yang tidak efektive. (Alwi, 2007)
C. EPIDEMIOLOGI
Kematian mendadak, yang dalam bahasa aslinya disebut sudden cardiac death, didefinisikan sebagai kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Sekitar 93 persen SCD adalah suatu kematian aritmik. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah. Di negara maju seperti Amerika Serikat, kejadian sudden cardiac death (SCD) mencapai 400.000 kasus per tahun. Jumlah ini hampir 50 persen dari seluruh kematian yang terjadi. Keadaan yang sama bisa jadi dialami juga oleh negara kita, khususnya di perkotaan, di mana pola penyakitnya sudah sama dengan pola penyakit negara-negara maju.
SCD dapat terjadi pada orang yang memiliki sakit jantung yang manifes secara klinis maupun pada penyakit jantung yang “silent”. Artinya, kematian mendadak dapat terjadi baik pada mereka yang telah diketahui menderita sakit jantung sebelumnya maupun pada mereka yang dianggap sehat-sehat saja selama ini. Wanita yang pernah mengalami serangan jantung atau infark miokard akut (IMA) memiliki peluang yang sama dengan pria untuk mengalami SCD. Studi Framingham, suatu landmark studi epidemiologik jangka panjang, menunjukkan bahwa pada penderita dengan riwayat penyakit jantung, pria mempunyai risiko SCD 2-4 kali lipat dibandingkan dengan wanita. Sementara itu, data yang lebih baru dari Abildstrom dan kawan-kawan yang melakukan studi prospektif selama empat tahun pada 6.000 pasien yang selamat dari IMA menemukan bahwa pria mengalami SCD hanya 1,3 kali lebih sering dibanding wanita. Temuan yang dipublikasikan itu menunjukkan peningkatan SCD pada wanita.
Sejumlah besar data menunjukkan bahwa wanita dan dokternya harus memahami bahwa penyakit jantung dan SCD bukan hanya isu kaum adam atau manula saja. Beberapa peneliti dari National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion Amerika Serikat mendapatkan bahwa kejadian kematian mendadak yang disebabkan penyakit jantung yang dialami oleh wanita muda meningkat lebih dari 31 persen selama periode 1989-1996. Padahal, pria hanya mengalami peningkatan sekitar 10 persen selama periode yang sama.
Temuan ini sangat mengejutkan para ahli sehingga secara aktif digali faktor-faktor yang diduga menyebabkan keadaan tersebut. Peningkatan yang bermakna dari frekuensi kejadian diabetes, overweight dan obesitas pada wanita, kecenderungan meningkatnya wanita perokok, dan screening kesehatan serta pengobatan penyakit jantung yang kurang agresif pada wanita dibandingkan pria diduga merupakan faktor-faktor yang turut berperan pada peningkatan SCD pada wanita.
Kemudian, data lain juga menunjukkan bahwa wanita kurang menyadari gejala serangan jantung sehingga terlambat mendapatkan pertolongan. Wanita tidak mendapatkan perawatan yang tepat waktu karena mereka dan dokternya lambat mengambil kesimpulan terhadap suatu gejala penyakit jantung. Badan epidemiologi nasional di Amerika mendapatkan bahwa proporsi wanita yang mengalami kematian di luar rumah sakit lebih tinggi dari pada pria. Hampir 52 persen wanita yang mengalami SCD terjadi di luar rumah sakit, dibandingkan hanya 42 persen pada pria. Hal ini terjadi karena gejala penyakit jantung pada wanita sering berbeda dengan pria sehingga terlambat dikenali.( Satiawan T, 2005 )
D. PATOGENESIS
Umumnya Infark Miokard didasari oleh adanya arteriosklerosis pembuluh darah koroner. Secara marfologis Infark Miokard dapat berupa transmural atau sub endokardial. Infark Miokard transmural mengenai seluruh dinding miokard dan terjadi pada distribusi suatu arteri koroner. Sebaliknya pada Infark Miokard subendokardial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan umumnya berbercak-bercak dan tidak konfluens seperti Infark Miokard transmurAL.
Infark Miokard subendokardial dapat regional (terjadi pada distribusi satu-satu arteri koronaria) atau difus (terjadi pada distribusi lebih dari satu arteri koroner). Patogenitas dan perjalanan kedua jenis Infark Miokard ini berbeda.
E. PATOFISIOLOGI
Arteri koroner kiri mempengaruhi sebagian besar ventrikel kiri, septum dan atrium kiri. Arteri koroner kanan mempengaruhi sisi diafragma ventrikel kiri, sedikit bagian posterior septum dan ventrikel serta atrium kanan. Nodus SA lebih sering dipengaruhi oleh arteri koroner kanan daripada kiri (cabang sirkumfleks). Pada nodus AV, 90% dipengaruhi oleh arteri koroner kanan dan 10% dari sisi kiri cabang sirkumfleks. Kedua nodus SA dan AV juga mendapat darah dari arteri kugel. Jadi jelaslah obstruksi pada arteri koroner kiri sering menyebabkan infark anterior, dan infark inferior disebabkan oleh obstruksi pada arteri koroner kanan. Tetapi bila obstruksi telah terjadi di banyak tempat dan kolateral telah terbentuk, lokasi infark mungkin tidak dapat dicerminkan oleh pembuluh asal yang terkena. Pada nekrosis daerah infark miokard mungkin sulit dikenali pada 24 – 48 jam pertama. Setelah itu serat-serat miokard membengkak dan nuklei menghilang. Di tepi infark dapat terlihat perdarahan. Dalam beberapa hari pertama daerah infark akut amat lemah. Secara histologis penyembuhan dapat tercapai sekurang-kurangnya setelah empat minggu, umumnya setelah enam minggu.
Segera setelah terjadi Infark Miokard daerah miokard setempat akan memperlihatkan penonjolan sitolik (diskinesia) dengan akibat menurunnya ejeksi fraction, isi sekuncup, dan peningkatan volume akhir sistolik dan akhir diastolik ventrikel kiri. Tekanan akhir diastolik ventrikel kiri naik dengan akibat tekanan atrium kiri juga naik. Peningkatan tekanan atrium kiri diatas 25 mmHg yang lama akan menyebabkan transudat cairan ke jaringan interstitium paru (gagal jantung). Pemburukan hemodinamik ini bukan saja disebabkan karena daerah infark, tetapi juga daerah iskemik disekitarnya. Miokard yang masih relatif baik akan mengdakan kompensasi, khususnya dengan bantuan rangsang adrenergik untuk mempertahankan curah jantung tetapi dengan peningkatan kebutuhan oksigen miokard. Kompensasi ini jelas tidak memadai jika daerah yang bersangkutan juga mengalami iskemia atau bahkan sudah fibrotik. Bila infark kecil dan miokard yang kompensasi masih normal maka pemburukan hemodinamik akan minimal. Sebaliknya jika infark luas dan miokard yang harus berkompensasi juga buruk akibat iskemia atau infark lama, tekanan akhir diastolik akan naik dan gagal jantung terjadi.
Perubahan-perubahan hemodinamik Infark Miokard ini tidak statis. Bila Infark Miokard makin tenang fungsi jantung membaik walaupun tidak diobati. Hal ini disebabkan daerah-daerah yang tadi iskemik mengalami perbaikan. Perubahan hemodinamik akan terjadi bila iskemik berkepanjangan atau infark meluas. Terjadinya mekanis penyulit seperti rupture septum ventrikel, regurgitasi mitral akut dan aneurisma ventrikel akan memperburuk faal hemodinamik jantung.
Aritmia merupakan penyulit Infark Miokard yang tersering dan terjadi pada saat pertama serangan. Hal ini disebabkan karena perubahan masa refrakter, daya hantar rangsang dan kepekaan terhadap rangsangan. Sistem saraf otonom juga berperan terhadap terjadinya aritmia. Penderita Infark Miokard umumnya mengalami peningkatan tonus parasimpatis dengan akibat kecenderungan bradiaritmia meningkat. Sedangkan peningkatan tonus simpatis pada Infark Miokard anterior akan mempertinggi kecenderungan fibrilasi ventrikel dan perluasan ifark. ( Sudoyo, 2007 )
F. DIAGNOSIS
Diagnosis IMA dapat ditegakkan bila memenuhi 2 dari 3 kriteria :
1. Nyeri dada khas infark, nyeri dada ini dirasakan lebih dari 20 menit , tidak ada hubungannya dengan aktivitas atau latihan dan tidak membaik dengan pemberian obat anti angina dan istirahat.
2. Peningkatan serum enzim lebih dari 1 ½ kali nilai normal.
3. Evolusi EKG khas infark, dengan ditemukannya elevasi segmen ST atau justru depresi akibat iskemia, lambat laun terjadi gel Q yang besar (gel Q patologis) akibat jaringan yang mati (infark), dan inverse gel T akibat iskemia.
G. DIAGNOSIS BANDING
Perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan GI. IMA dengan elevasi ST tanpa nyeri lebih sering pada DM dan usia lanjut (Alwi, 2007).
H. MEKANISME KLINIS
Tidak semua serangan mulai secara tiba-tiba disertai nyeri yang sangat parah seperti yang sering kita lihat pada tayangan TV atau sinema. Tanda dan gejala dari serangan jantung tiap orang tidak sama. Banyak serangan jantung berjalan lambat sebagai nyeri ringan atau perasaan tidak nyaman. Bahkan beberapa orang tanpa gejala sedikitpun (dinamakan silent heart attack)
Akan tetapi pada umumnya serangan AMI ini ditandai oleh beberapa hal berikut:
a. Nyeri Dada
Mayoritas pasien AMI (90%) datang dengan keluhan nyeri dada. Perbedaan dengan nyeri pada angina adalah nyer pada AMI lebih panjang yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu. Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi pada infark tidak.
Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan keluarnya keringat dingin atau perasaan takut.
Mskipun AMI memiliki cirri nyeri yang khas yaitu menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau penderita DM berkaitan dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolic ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hipervenntilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna
c. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa menyebabkan cegukan
d. Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing, atau sinkop dari aritmia ventrikel, dan gejala akibat emboli arteri (misalnya stroke, iskemia ekstrimitas)
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penegakan diagnosa serangan jantung berdasarkan gejala, riwayat kesehatan prbadi dan kelarga, serta hasil test diagnostic.
a. EKG (Electrocardiogram)
Pada EKG 12 lead, jaringan iskemik tetapi masih berfungsi akan menmghasilkan perubahan gelombang T, menyebabkan inervasi saat aliran listrik diarahkan menjauh dari jaringan iskemik, lebih serius lagi, jaringan iskemik akan mengubah segmen ST menyebabkan depresi ST.
Pada infark, miokard yang mati tidak mengkonduksi listrik dan gagal untuk repolarisasi secara normal, mengakibatkan elevasi segmen ST. Saat nekrosis terbentuk, dengan penyembuhan cincin iskemik disekitar area nekrotik, gelombang Q terbentuk. Area nekrotik adalah jaringan parut yang tak aktif secara elektrikal, tetapi zona nekrotik akan menggambarkan perubahan gelombang T saat iskemik terjasi lagi. Pada awal infark miokard, elevasi ST disertai dengan gelombang T tinggi. Selama berjam-jam atau berhari-hari berikutnya, gelombang T membalik. Sesuai dengan umur infark miokard, gelombang Q menetap dan segmen ST kembali normal.
Gambaran spesifik pada rekaman EKG
Daerah infark Perubahan EKG
Anterior Elevasi segmen ST pada lead V3 -V4, perubahan resiprokal (depresi ST) pada lead II, III, aVF.
Inferior Elevasi segmen T pada lead II, III, aVF, perubahan resiprokal (depresi ST) V1 – V6, I, aVL.
Lateral Elevasi segmen ST pada I, aVL, V5 – V6.
Posterior Perubahan resiprokal (depresi ST) pada II, III, aVF, terutama gelombang R pada V1 – V2.
Ventrikel kanan Perubahan gambaran dinding inferior
b. Test Darah
Selama serangan, sel-sel otot jantung mati dan pecah sehingga protein-protein tertentu keluar masuk aliran darah.
Kreatinin Pospokinase (CPK) termasuk dalam hal ini CPK-MB terdetekai setelah 6-8 jam, mencapai puncak setelah 24 jam dan kembali menjadi normal setelah 24 jam berikutnya.
LDH (Laktat Dehidrogenisasi) terjadi pada tahap lanjut infark miokard yaitu setelah 24 jam kemudian mencapai puncak dalam 3-6 hari. Masih dapat dideteksi sampai dengan 2 minggu.
Iso enzim LDH lebih spesifik dibandingkan CPK-MB akan tetapi penggunaan klinisnya masih kalah akurat dengan nilai Troponin, terutama Troponin T.
Seperti yang kita ketahui bahwa ternyata isoenzim CPK-MB maupun LDH selain ditemukan pada otot jantung juga bisa ditemukan pada otot skeletal.
Troponin T & I merupakan protein merupakan tanda paling spesifik cedera otot jantung, terutama Troponin T (TnT)
Tn T sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-3 minggu.
Pengukuran serial enzim jantung diukur setiap selama tiga hari pertama; peningkatan bermakna jika nilainya 2 kali batas tertinggi nilai normal.
d. Coronary Angiography
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.
Dokter memasukan kateter melalui arteri pada lengan atau paha menujua jantung. Prosedur ini dinamakan kateterisasi jantung, yang merupakan bagian dari angiografi koroner
Zat kontras yang terlihat melalui sinar x diinjeksikan melalui ujung kateter pada aliran darah. Zat kontras itu memingkinkan dokter dapat mempelajari aliran darah yang melewati pembuluh darah dan jantung
Jika ditemukan sumbatan, tindakan lain yang dinamakan angioplasty, dpat dilakukan untuk memulihkan aliran darah pada arteri tersebut. Kadang-kadang akan ditempatkan stent (pipa kecil yang berpori) dalam arteri untuk menjaga arteri tetap terbuka.
J. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari penanganan pada infark miokard adalah menghentikan perkembangan serangan jantung, menurunkan beban kerja jantung (memberikan kesempatan untuk penyembuhan) dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Berikut ini adalah penanganan yang dilakukan pada pasien dengan AMI:
a) Berikan oksigen meskipun kadar oksigen darah normal. Persediaan oksigen yang melimpah untuk jaringan, dapat menurunkan beban kerja jantung. Oksigen yang diberikan 5-6 L /menit melalu binasal kanul.
b) Pasang monitor kontinyu EKG segera, karena aritmia yang mematikan dapat terjadi dalam jam-jam pertama pasca serangan.
c) Pasien dalam kondisi bedrest untuk menurunkan kerja jantung sehingga mencegah kerusakan otot jantung lebih lanjut. Mengistirahatkan jantung berarti memberikan kesempatan kepada sel-selnya untuk memulihkan diri.
d) Pemasangan IV line untuk memudahkan pemberan obat-obatan dan nutrisi yang diperlukan. Pada awal-awal serangan pasien tidak diperbolehkan mendapatkan asupa nutrisi lewat mulut karena akan meningkatkan kebutuhan tubuh erhadap oksigen sehingga bisa membebani jantung.
e) Pasien yang dicurigai atau dinyatakan mengalami infark seharusnya mendapatkan aspirin (antiplatelet) untuk mencegah pembekuan darah. Sedangkan bagi pasien yang elergi terhadap aspirin dapat diganti dengan clopidogrel.
f) Nitroglycerin dapat diberikan untuk menurunkan beban kerja jantung dan memperbaiki aliran darah yang melalui arteri koroner. Nitrogliserin juga dapat membedakan apakah ia Infark atau Angina, pada infark biasanya nyeri tidak hilang dengan pemberian nitrogliserin.
g) Morphin merupakan antinyeri narkotik paling poten, akan tetapi sangat mendepresi aktivitas pernafasan, sehingga tdak boleh digunakan pada pasien dengan riwayat gangguan pernafasan. Sebagai gantinya maka digunakan petidin
Pada prinsipnya jika mendapatkan korban yang dicurigai mendapatkan serangan jantung, segera hubungi 118 untuk mendapatkan pertolongan segera. Karena terlambat 1-2 menit saa nyawa korban mungkin tidak terselamatkan lagi.
Obat-obatan yang digunakan pada pasien dengan AMI diantaranya:
1. Obat-obatan trombolitik
Obat-obatan ini ditujukan untuk memperbaiki kembali airan darah pembuluh darah koroner, sehingga referfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut.
Obat-obatan ini digunakan untuk melarutkan bekuan darah yang menyumbat arteri koroner. Waktu paling efektive pemberiannya adalah 1 jam stelah timbul gejal pertama dan tidak boleh lebih dari 12 am pasca serangan. Selain itu tidak boleh diberikan pada pasien diatas 75 tahun
Contohnya adalah streptokinase
2. Beta Blocker
Obat-obatan ini menrunkan beban kerja jantung. Bisa juga digunakan untuk mengurangi nyeri dada atau ketidaknyamanan dan juga mencegah serangan jantung tambahan. Beta bloker juga bisa digunakan untuk memperbaiki aritmia.
Terdapat dua jenis yaitu cardioselective (metoprolol, atenolol, dan acebutol) dan non-cardioselective (propanolol, pindolol, dan nadolol)
3. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitors
Obat-obatan ini menurunkan tekanan darah dan mengurangi cedera pada otot jantung. Obat ini juga dapat digunakan untuk memperlambat kelemahan pada otot jantung.
Misalnya captropil
4. Obat-obatan antikoagulan
Obat- obatan ini mengencerkan darah dan mencegah pembentukan bekuan darah pada arteri.
Missal: heparin dan enoksaparin.
5. Obat-obatan Antiplatelet
Obat-obatan ini (misal aspirin dan clopidogrel) menghentikan platelet untuk membentuk bekuan yang tidak diinginkan.
Jika obat-obatan tidak mampu menangani/menghentikan serangan jantung., maka dpat dilakukan tindakan medis, yaitu antara lain
a. Angioplasti
Tindakan non-bedah ini dapat dilakukan dengan membuka arteri koroner yang tersumbat oleh bekuan darah. Selama angioplasty kateter dengan balon pada ujungnya dimasukan melalui pembuluh darah menuju arteri koroner yang tersumbat. Kemudian balon dikembangkan untuk mendorong plaq melawan dinding arteri. Melebarnya bagian dalam arteri akan mengembalikan aliran darah.
Pada angioplasti, dapat diletakan tabung kecil (stent) dalam arteri yang tersumbat sehingga menjaganya tetap terbuka. Beberapa stent biasanya dilapisi obat-obatan yang mencegah terjadinya bendungan ulang pada arteri.
b. CABG (Coronary Artery Bypass Grafting)
Merupakan tindakan pembedahan dimana arteri atau vena diambil dari bagian tubuh lain kemudian disambungkan untuk membentuk jalan pintas melewati arteri koroner yang tersumbat. Sehingga menyediakan jalan baru untuk aliran darah yang menuju sel-sel otot jantung.
Setelah pasien kembali ke rumah maka penanganan tidak berhenti, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Mematuhi manajemen terapi lanjutan dirumah baik berupa obat-obatan maupn mengikuti program rehabilitasi.
b) Melakukan upaya perubahan gaya hidup sehat yang bertujuan untuk menurunkan kemungkinan kekambuhan, misalnya antara lain: menghindari merokok, menurunkan BB, merubah dit, dan meningatkan aktivitas fisik.
(Mansjoer ed., 2005).
K. KOMPLIKASI
1. Aritmia
2. Gagal jantung
3. Syok kardiogenik
4. Trombo-embolisme
5. Perikarditis
6. Aneurisma ventrikel
7. Regurgitasi mitral akut
8. Ruptur jantung dan septum
L. PROGNOSIS
Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis, yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemia lebih jauh, dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik.Sebagian besar penderita yang bertahan hidup selama beberapa hari setelah serangan jantung dapat mengalami kesembuhan total; tetapi sekitar 10% meninggal dalam waktu 1 tahun. Kematian terjadi dalam waktu 3-4 bulan pertama,—>( pada ayah saia,terjadi cuman dalam waktu 5hari setelah serangan hari pertama.) terutama pada penderita yang kembali mengalami angina, aritmia ventrikuler dan gagal jantung.